Rabu, 13 Januari 2010

IDENTIFIKASI MASALAH KOTA SEMARANG DAN USULAN PEMECAHANNYA Kasus PKL Kawasan Simpang Lima dan Sekitarnya

IDENTIFIKASI MASALAH KOTA SEMARANG DAN USULAN PEMECAHANNYA

Kasus PKL Kawasan Simpang Lima dan Sekitarnya

Oleh Nurdien H Kistanto

I. Pendahuluan
Dalam dua dasawarsa ini kota Semarang telah menjadi “kota baru” dengan karakteristik baru yang jauh berbeda dari tiga dasawarsa sebelumnya. Simpang Lima, yang kesohor ke seantero negeri ini, telah menjadi hall mark atau penanda nilai kemajuan dan perkembangan kota Semarang. Seberapa tinggi kualitas, kemajuan, kemolekan, ketertiban, dan kesantunan penduduk Semarang dapat diukur dari kualitas, kemajuan, kemolekan, ketertiban dan kesantunan yang berlangsung di Simpang Lima. Sekarang Simpang Lima bukan sekedar menjadi milik warga Semarang, melainkan milik warga Jawa Tengah, bahkan Indonesia.
Pada tahun-tahun 1960an sampai awal 1970an kawasan lintas Jalan Gajah Mada menuju ke Jalan Pahlawan dan Jalan Pandanaran menuju ke Jalan A Yani belum berkembang menjadi bundaran yang kemudian ramai disebut Simpang Lima. Pada tahun-tahun 1960an, di sebelah kiri dan kanan lintasan tersebut masih penuh dengan air berrawa dan bersawah, dengan kendaraan bermotor yang masih bisa dihitung dengan jari, dengan kendaraan sepeda dan becak yang masih nyaman dinaiki. Pada tahun-tahun 1970an, naik becak berkeliling Simpang Lima masih menjadi hiburan yang menyenangkan.
II. Buah Industrialisasi
Bersamaan dengan industrialisasi sejak tiga setengah dasawarsa yang lalu Simpang Lima menggeliat sebagai potensi pusat keramaian, menggenapi posisinya yang strategis, sebagai pusat lintasan jalan-jalan protokol Gajah Mada, Pandanaran, Pahlawan dan A Yani. Warga kota menikmati buah-buah industrialisasi dengan penanda spiritual Masjid “Baiturrahman,” olah fisik “Gelanggang Olah Raga”/GOR (sekarang kompleks Hotel “Ciputra” dan Mal “Citra”), “Wisma Pancasila” (sekarang Pertokoan “Matahari”), Pertokoan “Micky Morse” (SE), dan Pertokoan “Plaza Simpang Lima,” selain Bioskop “Gajah Mada” (sekarang Pasar “Ramayana”). Sejak itu, warga Semarang dan sekitarnya suka tumpah ruah, menghibur diri, melengkapi kepenatan dan kesenangannya di kawasan Simpang Lima.

III. Gundukan-Gundukan Gula
Sejak pertengahan 1970an dan awal 1980an tepian jalan dan trotoar Simpang Lima menjadi gundukan-gundukan gula yang dirubung semut berasal dari daerah-daerah dalam wajah para pedagang makanan, minuman dan mainan. Kemudian bermunculan pedagang barang-barang lainnya, untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan. Tenda-tenda teh poci adalah fenomena 1990an, yang makin menunjukkan peningkatan pada puncak krisis ekonomi, heboh dengan ciblek-cibleknya. Kawasan Simpang Lima telah komplit pula dengan para pengamen dan pengemis, serta pencopetnya. Pada tahun 2000an, lapangan Simpang Lima menciptakan keriuhan baru, terutama bagi Pemerintah Kota, yakni dengan urusan pijat-memijat di atas rumput terbuka.
Para pedagang dan penyedia jasa besar, agak besar, menengah, kecil dan sangat kecil itu semua selalu berharap dan berdoa agar mereka mendapat berkah dari kawasan Simpang Lima, mereguk kesejahteraan dari gundukan-gundukan gula yang disetor oleh para pengunjungnya. Para pengunjung besar, agak besar, menengah, kecil, sangat kecil dan tak bernama.

IV. Masalah dan Usulan Pemecahan
(1) Dual Economy
Bagi para pengamat ekonomi, kawasan Simpang Lima dan sekitarnya dapat menjadi sampel yang sangat bagus untuk berlangsungnya kegiatan ekonomi perdagangan dan jasa yang mengandung dua wajah (dual economy) sekaligus dalam satu wadah berhimpitan, bersamaan, berdampingan (bandingkan Boeke, 1942) . Kegiatan ekonomi yang mungkin khas newly industrializing society, di mana sektor perdagangan dan jasa industrial belum sepenuhnya menjadi irama, gerak hidup dan nafas modernitas sebagian besar masyarakat. Dalam kawasan Simpang Lima berlangsung kegiatan-kegiatan “pasar modern” yang dikemas dan disajikan dengan investasi milyaran rupiah, berwajah gemerlapan pertokoan berhawa sejuk, sekaligus pula berkembang “pasar berskala mini” kelas eber (petty scale vendors) dengan pawitan bisa hanya puluhan atau ratusan ribu rupiah, bermuka PKL yang kusam, kepanasan, kumuh, murah, miskin dan tak berdaya. Di antara yang kusam dan murah itu tentu terdapat mereka yang mengecap gula kemakmuran kawasan Simpang Lima.
Mengingat kegiatan ekonomi eber yang kusam makin sangat sulit dibendung, usulan mengenai diciptakannya kawasan-kawasan (seperti) Simpang Lima baru kiranya mendesak untuk dilaksanakan, dengan menyalurkan keadilan dan ketertiban di kawasan baru, sambil menertibkan dengan pembelajaran di kawasan Simpang Lima sekarang. Penataan dan pengenaan “retribusi baru” kiranya dapat dilakukan secara bertahap, berhati-hati dan manusiawi.
(2) Lahan Bertuan
1) Para PKL hendaknya dibekali pembelajaran dan pemahaman bahwa kawasan Simpang Lima bukanlah lahan bebas, melainkan lahan bertuan, dan Tuannya adalah Masyarakat dan Pemerintah Kota.
2) Bagus bagi para PKL diberikan pemahaman bahwa “negara mawa tata” dan “Simpang Lima mawa cara.” Hukum dan Peraturan haruslah dikaitkan dengan nilai-nilai luhur masyarakat, dengan etika dan estetika yang dapat dinikmati tidak hanya oleh para PKL, melainkan pula oleh Penata Praja dan Warga Praja.
3) Para Pamong dan Penata Praja hendaknya tidak hanya mengutus Petugas Praja mengutip retribusi PKL, melainkan juga menyadari dampak dan konsekuensi dari pengutipan.
4) Para PKL harus mendapat bantuan dan bimbingan untuk memahami hidup bersama Pamong dan Penata Praja, Warga pengguna kawasan Simpang Lima dan sesama PKL.
5) Pada malam-malam puncak keramaian, disain tata ruang dan tata lahan hendaknya mengalami persiapan dan penertiban khusus, terutama di tengah lingkaran dan lapangan Simpang Lima.
6) Hal-hal lain dapat menjadi usulan untuk diskusi dan perdebatan, demi kebaikan dan kenyamanan semua stake holders kawasan Simpang Lima.
Semoga bermanfaat. Semarang, Selasa, 25 Mei 2004.