Selasa, 12 Januari 2010

KEKERASAN DI MASA TRANSISI

Tindakan kekerasan beberapa tahun belakangan ini telah merebak menjadi gejala sosial yang begitu mencemaskan dan meresahkan keamanan dan ketentraman hidup masyarakat, serta hak-hak azasi bangsa kita. Hampir setiap hari kepada kita disajikan berita tentang peristiwa kekerasan sosial melalui semua saluran media massa. Tak satu pun media massa yang tidak meliput peristiwa-peristiwa kekerasan sosial dalam berbagai bentuk, penyebab dan modus. Dapat dikatakan bahwa peristiwa kekerasan sosial telah menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupan sosial kita, sehingga nyaris tidak bernilai berita lagi – kecuali yang benar-benar luar biasa seperti kekerasan sosial yang terjadi di Maluku, setelah Ambon. Kekerasan yang benar-benar luar biasa itu pun lama-kelamaan menjadi biasa pula jika terjadi setiap hari, meski pun korban-korban terus berjatuhan. Keadaan demikian dapat menciptakan situasi psikologis yang tidak sehat bagi masyarakat kita. Inikah gejala yang terjadi oleh dorongan-dorongan perubahan di masa transisi?
Struktur Kategorial
Ketika menyelenggarakan serangkaian penelitian di 8 (delapan) lokasi penelitian tentang Santet dan Kerusuhan Sosial di Jawa Tengah (Oktober-November 1998), kami Tim Peneliti Jawa Tengah telah mencoba merumuskan struktur kategorial kerusuhan sosial menjadi 4 (empat) kategori yang meliputi:
(1) Kekerasan dengan penjarahan, seperti yang terjadi di kota Solo dan Randublatung, Blora;
(2) Kekerasan dengan tawuran, seperti di Wanasari, Brebes dan Sukolilo, Pati;
(3) Kekerasan sosial-politik dan ekonomi, seperti di Pekalongan Selatan (Buwaran) dan kota Kebumen; dan
(4) Kekerasan akibat isyu santet, seperti di Donorojo, Demak dan Rowosari, Semarang.
Kekerasan dengan penjarahan di kota Solo dipicu oleh berbagai persoalan yang sangat kompleks, tetapi temuan sementara adalah kecemburuan sosial, kesenjangan antar etnik dan permainan politik; penyebab ini mirip dengan peristiwa dengan skala yang lebih kecil di Kebumen, dengan tingkat penjarahan yang berskala kecil pula tapi dengan pemicu (casus belli) yang lebih jelas (setelah terpendam lama), yakni konflik antar kelas majikan dan buruh yang menajam dan kemudian meluas menjadi konflik dengan kekerasan sosial-ekonomi antar etnik. Penjarahan atau pencurian kayu besar-besaran di Randublatung, Blora lebih disebabkan oleh kecemburuan pengelolaan hutan dan keserakahan dengan melawan hukum oleh kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat perampokan kayu jati bahkan sampai pada praktek terang-terangan.
Berbeda dari itu, meski pun penyebab dan pemicu dasar adalah tetap kecemburuan dan kesenjangan kekuasaan ekonomi dan politik yang begitu lama terpendam di hati sanubari antar kelompok masyarakat dan khususnya antar kelompok politik, kekerasan dalam skala cukup besar di Pekalongan Selatan secara gamblang dimulai dengan perebutan pengaruh kekuasaan politik antar OPP menjelang Pemilu 1997, yakni pendudukan simbol dan kekuatan Golkar di wilayah mayoritas PPP sehingga mendorong terjadinya konflik antar kekuatan dalam situasi dan suhu politik yang tengah mendidih. Keadaan demikian sangat mudah untuk ditunggangi kepentingan anarkis yang selalu siap menerkam kesempatan yang seringkali tak disadari benar oleh para pelakunya sendiri.
Kekerasan sosial yang disebabkan oleh isyu santet seperti di Donorojo, Demak yang mengorbankan nyawa, dan di Rowosari, Semarang yang mengorbankan harta-benda merupakan pula produk oplosan melawan hukum yang rumit antara dendam sosial-ekonomi-politik dengan karakter sebagian masyarakat yang cenderung meyakini dunia rekaan yang berbau mistis. Secara budayawi, produk dari masyarakat yang demikian cukup mudah terdorong untuk melakukan tindakan yang irrasional sekaligus illegal, dalam pengertian bahwa mereka meyakini keputusan pendek yang semata-mata ditentukan oleh sudut pandang mereka sendiri. Segelintir provokator bagi mereka dapat menciptakan perjalanan yang mulus untuk mencapai keinginan kepentingan tertentu.
Peristiwa tawuran antar kelompok masyarakat antar desa di Wanasari, Brebes menjadi laten dan mentradisi lantaran “diselenggarakan” hampir tiap tahun. Tawuran di daerah bawang merah ini lebih disebabkan oleh “gengsi” antar kelompok antar desa satu dan lainnya, dengan temperamen manusianya yang cenderung tinggi dan sulit dikendalikan. Bumbu-bumbu lain adalah tayangan media massa yang mengakomodasikan berita tentang kekerasan, dan perilaku masyarakat setempat untuk “mabuk dan main,” yang menyumbang dan mempercepat proses penyelesaian konflik dengan kekerasan, secara melawan hukum. Meski jenisnya sama, peristiwa kekerasan yang terjadi di Sukolilo, Pati antar kelompok masyarakat dari dua desa berbeda merupakan buah dari kesalahpahaman yang belum sampai mentradisi karena baru terjadi satu kali. Temperamen masyarakat yang tinggi bergabung dengan kekeringan jiwa yang kecewa, dapat seketika menyerupai daun-daun kering di musim panas yang begitu ringan tersentuh percikan api dan menjalar ke ranting-ranting kerontang yang siap melalap bahkan batang induk raksasa yang basah kuyup sekali pun. Jiwa-jiwa yang kering dapat menjadi sangat berbahaya bagi bagi dirinya sendiri maupun bagi jiwa-jiwa yang lain.
Kecenderungan Mutakhir
Belakangan ini, rumusan struktur kategorial, beserta berbagai bentuk, penyebab dan modusnya, seperti diuraikan di atas, agaknya jauh dari cukup untuk upaya pemahaman terhadap gejala kekerasan sosial-politik-ekonomi dan kebudayaan, yang kenyataannya terus menciptakan sel-sel kehidupannya sendiri. Kecenderungan mutakhir adalah gejala penghakiman massa terhadap pelaku kriminal dengan modus membakar diri si pelaku, baik hidup-hidup maupun setelah meninggal.
Di Desa M--, Sem., 3 orang pemuda tersangka melakukan pencurian alat-alat rumah-tangga menjelang dini hari. Seorang di antaranya tertangkap, dihajar massa habis-habisan dan dibakar seperti kambing guling. Malam-malam berikutnya suasana kampung menjadi tintrim dan memcekam karena isyu pembalasan dendam oleh kelompok warga yang warganya diperlakukan sadis begitu rupa. Di wilayah B--, Ken., 3 pemuda tersangka pencurian TV hitam-putih, dan seorang tertangkap massa, dihajar ramai-ramai sampai kelenger, dan dibakar pula sampai kaku.
Di wilayah Jabotabek, dalam 18 bulan (7 Januari 1999 sampai 10 Juni 2000) tercatat 46 kasus “kebrutalan massa” terhadap tersangka kejahatan yang mengakibatkan antara 1-5 orang (tiap kasus/peristiwa) tewas dikeroyok dan/atau dibakar massa, dengan waktu kejadian hampir komplit: dini hari, pagi hari, siang hari, petang hari, dan malam hari; dengan mengakibatkan 56 orang menjadi korban (Kompas. Jum’at, 16 Juni 2000/36). Catatan-catatan lain di tempat-tempat lain tentang penghakiman massa, atau “main hakim sendiri” pasti masih berderet-deret lagi jika kita telusuri dengan seksama.
Masa Transisi = Masa Kesadisan
Kekerasan demi kekerasan yang demikian sadis, yang melampaui batas perikemanusiaan, dan “melawan hukum” demikiankah yang kita alami, yang sebagian masyarakat pilih, untuk menyelesaikan persoalan sosial yang seharusnya menyangkut proses hukum, di masa transisi? Apakah pilihan penyelesaian masalah dengan cara demikian memang menandai masa transisi? Apakah masa transisi juga berarti masa kesadisan?
Dalam satu hal dapat dimaklumi bahwa sebagian besar warga masyarakat mendambakan perubahan, dari suatu sistem dan kehidupan masyarakat ke sistem dan kehidupan masyarakat lain yang lebih baik. Tapi sebagian dari masyarakat menginginkan perpindahan tersebut dengan proses yang cepat, sehingga proses-proses yang memakan waktu, membutuhkan kesabaran, kehati-hatian dan perjuangan seolah-olah harus diabaikan. Maunya cepat-cepat selesai dengan hantam kromo dan jalan pintas.
Sebagaimana digambarkan oleh Santoso/Suprihadi (Kompas. Jum’at, 16 Juni 2000/36):
Ketika terjadi pengeroyokan atas tersangka pelaku kejahatan, sikap pembelaan kepada tersangka bisa berakibat fatal. Pernah terjadi, seorang polisi berpakaian preman berusaha menghentikan aksi pengeroyokan itu. Dia melepaskan tembakan peringatan. Namun, apa yang terjadi, seseorang kemudian meneriaki polisi itu sebagai kawan dari tersangka yang tengah dikeroyok. Akibatnya, polisi naas itu pun dikeroyok beramai-ramai, meski ia berusaha menjelaskan bahwa dirinya adalah polisi.
Bahkan tidak jarang tersangka yang sudah diamankan di kantor polisi atau pos polisi pun diseret keluar dan kemudian dikeroyok beramai-ramai hingga tewas.... di Pondokgede, empat orang tersangka sudah dinaikkan ke mobil patroli, tetapi massa kemudian menyeret mereka, menganiaya dan membakarnya.
“Biar saja, biar kapok,” kata seorang warga....”Biar teman-temannya kapok.”
“Kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali nodong,” kata yang lain.

Sikap yang mendasari perilaku demikian tentulah bukan tanpa latar-belakang yang mendalam dan terakumulasi. Latar-belakang itu antara lain sebagai berikut.
Tak Percaya Aparat. Selama belasan tahun aparat dan penegak hukum sudah sulit dipercaya dalam penanganan secara adil kasus kejahatan kecil maupun besar, seperti tercermin dari ungkapan di atas, “Kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar...” Kenalan saya seorang preman yang mulai tobat pun pernah bercerita, suatu malam dia bersama kawan-kawannya terlibat dalam praktek judi di sebuah kampung dan tertangkap oleh operasi aparat, kemudian dibawa ke pos. Rembug punya rembug dengan aparat, mereka bersedia masing-masing mengumpulkan sejumlah ratusan ribu rupiah, dengan meminta bantuan teman-teman mereka yang “berada di luar.” Tak lama urusan selesai, dan cuma semalam mereka “menginap” di pos aparat. Contoh lain bisa seabrek lagi!
Peledakan Kemarahan Massa.