Rabu, 13 Januari 2010

KONFLIK BERBASIS DAERAH PEMILIHAN DI JAWA TENGAH Konsep, Gagasan dan Kasus

I. Pendahuluan
Berdasar (1) Keputusan KPU No. 640/2003 tentang penetapan daerah pemilihan dan tatacara perhitungan jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi seluruh Indonesia dan (2) Keputusan KPU No. 653/2003 tentang penetapan daerah pemilihan, jumlah penduduk, dan jumlah kursi anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dalam Pemilu 2004, KPU Provinsi Jawa Tengah mengumumkan tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kab/Kota (Suara Merdeka Selasa, 30 Desember 2003/14):
A. Daerah Pemilihan Anggota DPR Pusat untuk Anggota DPR Daerah Jawa Tengah terdiri dari 10 Daerah Pemilihan, sama dengan daerah pemilihan untuk Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, dengan catatan jumlah kursi masing-masing daerah pemilihan berbeda, yakni
(1) Jateng 1: Kendal, Salatiga (Kota), Semarang, Semarang (Kota);
(2) Jateng 2: Demak, Jepara, Kudus;
(3) Jateng 3: Blora, Grobogan, Rembang, Pati;
(4) Jateng 4: Sragen, Karanganyar, Wonogiri;
(5) Jateng 5: Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Surakarta (Kota);
(6) Jateng 6: Magelang, Magelang (Kota), Purworejo, Wonosobo, Temanggung;
(7) Jateng 7: Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga;
(8) Jateng 8: Banyumas, Cilacap;
(9) Jateng 9: Brebes, Tegal, Tegal (Kota);
(10) Jateng 10: Batang, Pekalongan, Pekalongan (Kota), Pemalang.
B. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi
Terdiri dari 10 Daerah Pemilihan (= A).
C. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kab/Kota
35 Daerah Pemilihan (DP) Kab/Kota, dengan masing-masing DP di bawahnya.
Daerah Provinsi Jawa Tengah memiliki jumlah penduduk 32.114.351, dengan pemilih dari 10 DP, yang akan memilih anggota DPRD Jawa Tengah untuk 100 kursi dengan kuota 321.143,51, dan dengan 24 partai politik peserta pemilu.
Sebagai salah satu daerah penting dalam peta politik nasional, Jawa Tengah dapat menjadi ajang pertarungan untuk kepentingan politik. Menjelang, selama dan setelah Pemilu 2004, situasi keamanan social di Jawa Tengah tidak mudah diprediksi. Dalam situasi demikian, yang diharapkan adalah kewaspadaan, kearifan, dan kerelaan berbeagai pihak untuk memperlakukan Pemilu 2004 tidak sebagai ajang untuk kepentingan pribadi dan kelompok sehingga mengorbankan keamanan sosial dan kesejahteraan rakyat.
II. Permasalahan
Tulisan ini mengangkat permasalahan konflik yang sudah dan mungkin dapat terjadi di daerah-daerah di Jawa Tengah berkaitan dengan pelaksanaan pemilu. Konsep dan gagasan mengenai konflik sosial politik akan disampaikan, disertai sampel kasus konflik yang terjadi di Jawa Tengah berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang telah berlangsung dari waktu ke waktu. Selanjutnya dari pengalaman-pengalaman konflik sosial politik dapat ditarik strategi-strategi solusi dan menghindarkan konflik, dalam pengelolaan konflik.
III. Pembahasan Konsep
Konsep mengenai konflik berkaitan dengan situasi percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, antar manusia, yang dapat terjadi karena dipicu oleh perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita-cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Dalam “Glossary of Basic Concepts,” dalam Sociology (Giddens, 1991: 724), “Conflict” disebut sebagai
Antagonism between individuals or groups in society. Conflict may take two forms. One occurs where there is a clash of interests between two or more individuals or groups; the other happens where people or collectivities engage in active struggle with one another. Interest conflict does not always lead to open struggle, while active conflicts may sometimes occur between parties who mistakenly believe their interests are opposed.

Menjelang puncak krisis politik dan ekonomi, sejumlah daerah dan lokasi di Jawa Tengah mengalami konflik atau antagonisme sosial dan politik yang sangat meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Pertanyaan dan diskusi bertubi-tubi telah digelar di berbagai kesempatan dan media, baik yang analitis maupun yang sekedar berbagi pengalaman. Keadaan ini berlangsung beberapa tahun belakangan, ketika krisis ekonomi dan politik benar-benar merasuki sendi-sendi sosial-budaya masyarakat di Jawa Tengah. Dalam kehidupan sosial politik, konflik berbasis kepentingan mudah terjadi karena berkembangnya perbedaan.
III. 1. Antagonisme dan Konflik
Antagonisme agaknya menjadi kata kunci yang cocok untuk menyebut gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi, karena istilah tersebut mengandung pengertian “permusuhan, perlawanan, kebencian, pertentangan, peringkaran” (Echols & Shadily, 1992: 30) atau “active hostility or opposition” (Dalgish, 1997: 27). Pengertian ini dekat dengan istilah konflik yang mengemban pengertian “percekcokan, perselisihan, pertentangan” (Echols & Shadily, 1992: 138) atau “to disagree, be in opposition, clash; a fight, battle, or struggle; disagreement, quarrel, argument” (Dalgish, 19967: 163).
Apabila dikaitkan dengan tekanan demografis yang dialami penduduk Jawa Tengah, “adalah suatu paham yang setua umur manusia bahwa di dalam negeri-negeri yang berkelebihan kepadatan penduduknya ketegangan-ketegangan sosial menjadi dahsat dan perang atau revolusi sering terjadi” (Duverger, 1998: 58). Selain itu antagonisme sosial juga dapat disebabkan oleh unsur-unsur kepribadian atau temperamen para pelakunya; dalam hal ini terdapat dua pendapat. Yang pertama, “temperamen adalah pembawaan sejak lahir, bersifat biologis; yang kedua, “temperamen terutama diperoleh melalui hubungan-hubungan psikososial” (Duverger, 1998: 183).
Dalam kenyataannya, antara faktor sifat biologis atau bawaan sejak lahir dan faktor pengaruh hubungan psikososial, sangat sulit untuk dipisah-pisahkan, ketika “orang banyak” sudah terjebak ke dalam “emosi massa” untuk melakukan “amuk massa” atau “kekerasan massa” (mass violence).
III. 2. Peperangan
Dengan pengertian-pengertian antagonisme dan konflik demikian, agaknya unsur-unsur perang atau peperangan juga terlibat mewarnai peristiwa-peristiwa yang menjadi isyu dalam konflik. Apabila antagonisme dan konflik modern ternyata memang melibatkan unsur-unsur peperangan, maka sebenarnya nasib manusia selalu berada dalam kondisi rawan sejak zaman baheula dan ketika peradaban manusia disebut pada tahapan “belum berkembang” atau “terbelakang” – untuk menghindari sebutan “primitif.”
Dalam antropologi mengenai bangsa “primitif,” antagonisme dan konflik yang melibatkan unsur-unsur peperangan (primitive war), menurut Marvin Harris (1978b: 48), merupakan kegiatan yang sangat tua (very ancient practice), tetapi karakteristiknya berbeda-beda dalam masa prasejarah dan masa sejarah. Dalam keterangan yang lain, Marvin Harris (1978a: 52) menyebutkan bahwa
Primitive war, like cow love or pig hate, has a practical basis. Primitive peoples go to war because they lack alternative solutions to certain problems – alternative solutions that would involve less suffering and fewer premature deaths.

III. 3. Pendidikan dan Kepentingan Politik
Sebagian dari masyarakat Jawa Tengah modern agaknya tidak berbeda jauh dari keadaan yang digambarkan oleh Marvin Harris, bahwa dasar atau alasan mereka bersitegang, kemudian meningkat pada situasi konflik yang kemudian berakhir dengan antagonisme dengan kekerasan massa, adalah karena tidak berkembangnya nilai-nilai alternatif, terutama dalam pendidikan politik yang memadai. Alternatif pendidikan politik untuk terbangunnya civil society agaknya terhambat selama puluhan tahun, sehingga ketika katup-katup penyumbat kesumpekan dibuka - yang sebenarnya untuk kepentingan kebebasan berpolitik - situasi jadi penuh ledakan di sana-sini. Sebagian orang memilih “peperangan” – bahkan dengan tetangga atau dengan lingkungan yang mungkin sebelumnya menjadi satu kelompok dengannya. Dalam praksis politik dan peperangan, misalnya, terdapat ungkapan, bahwa tidak ada koalisi atau kemitraan yang abadi; yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri.
Proses pendidikan politik yang gagal dapat berakibat pencapaian kepentingan politik yang melibatkan konflik dan kekerasan massa.
IV. Kasus-kasus Konflik Sosial Politik
Kasus-kasus konflik sosial politik di Jawa Tengah sebenarnya sangat sering terjadi, dari yang paling kecil dan tidak terlihat sampai pada yang besar, massif, sangat mencekam dan memprihatinkan yang melibatkan tindak kekerasan dan korban jiwa. Secara garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) kategori konflik sosial politik.
(1) Konflik batin karena perbedaan politik dan praktek-praktek politik agaknya yang paling banyak diderita masyarakat pelaku dan peserta politik. Konflik ini tidak tampak karena berada dalam batin masing-masing penderitanya, sebagian diungkapkan tapi lebih banyak sekali yang tidak. Lebih-lebih pada belakangan ini ketika praktek-praktek politik oleh para pelaku politik pada jajaran legislative, eksekutif, dan yudikatif. Pada hari-hari menjelang, saat dan pasca pemilu, konflik batin dapat dirasakan tapi sulit dilihat dan diraba.
(2) Konflik sosial politik yang ringan karena perbedaan kepentingan dapat diamati dari wacana dan praktek ekspresi politik melalui diskusi, perdebatan dan peragaan politik, sampai yang keras tapi tidak melibatkan kekerasan fisik.
(3) Konflik sosial politik yang berat disertai kekerasan fisik dan berdimensi kriminal, yang sampai melibatkan pertengkaran fisik dengan akibat terjadinya korban luka ringan, luka berat dan kematian serta kerugian harta benda.
Berikut ini disampaikan sampel dari kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan pemilu 1997 dan 1999 dari daerah pemilihan yang berbeda, agar dapat ditarik pelajaran darinya (lessons learnt) dan tidak terulang lagi.
IV. 1. Konflik Sosial Politik di Pekalongan Menjelang Pemilu 1997
Kerusuhan sosial-politik yang meluas terjadi di Pekalongan Selatan, Pekalongan, pada tanggal-tanggal 24-26 Maret, menjelang Pemilu 1997. Peristiwa mencekam dan mengorbankan harta-benda, jiwa dan raga warga masyarakat setempat itu dipicu oleh perebutan pengaruh politik dalam bentuk persaingan pemasangan lambang OPP (PPP vs Golkar) dan rencana penyelenggaraan panggung tablig akbar oleh Golkar di wilayah pengaruh mayoritas PPP.
Pada mulanya terjadi ketegangan dan bentrok antara aparat penertiban bendera yang bermaksud menurunkan bendera PPP dan warga pendukung PPP. Peristiwa itu berkembang menjadi kerusuhan sosial ketika panggung Golkar yang didirikan di depan Pondok Pesantren dibakar massa. Selanjutnya makin berkembang kerusuhan sosial yang menjalar menjadi perusakan dan pembakaran toko, kios, bangunan kantor, serta kendaraan beroda dua dan beroda empat.
Keadaan menjadi lebih parah ketika diketahui bahwa pihak aparat Kotamadya dan Muspida tidak dapat memenuhi tuntutan warga setempat untuk memindahkan panggung yang menjadi titik sengketa. Ketidakberanian Walikota dan Muspida untuk mengambil keputusan memindahkan lokasi panggung disebabkan oleh “kebijaksanaan dari atas.” Demikian pula upaya para kiai dan pengurus pondok pesantren agar panggung tablig akbar Golkar yang didirikan di depan pondok pesantren Al-Qur’an sebagai sumber konflik dipindahkan lokasinya, pun gagal karena alasan yang sama. Yang dimaksud “dari atas” adalah “kekuasaan yang lebih tinggi” dalam ABRI maupun pemerintahan.
Massa yang melakukan kerusuhan dan aktor intelektual (provokator) tidak dapat diidentifikasikan secara jelas. Mereka hanya dikenal sebagai perusuh dan aparat tak berani menentukan dari kelompok mana datangnya para perusuh itu. Dari situasi di lapangan terlihat jelas bahwa massa yang berkumpul dalam jumlah besar tidak mempercayai aparat pemerintah dan keamanan karena para aparat dinilai telah memihak OPP tertentu.
Peristiwa yang terjadi di Pekalongan sangat jelas bahwa pemicu utamanya adalah konflik yang menajam antar pendukung kelompok politik di era Orde Baru. Arogansi kekuasaan politik yang bekerjasama dengan birokrasi pemerintahan dan arogansi kekuasaan ekonomi menjadi tema penyebab kerusuhan sosial-politik ini. Peristiwa semacam ini diharapkan tidak terjadi lagi dengan dihentikannya praktek arogansi kekuasaan, terutama di lingkungan aparat pemerintah dan keamanan. Komunikasi dan azas kemitraan antar kelompok masyarakat pelaku dan peserta pemilu harus dikembangkan untuk menangkal kesalahpahaman, sikap saling curiga dan menang sendiri, tanpa memikirkan akibat yang terjadi dalam skala lokal yang membawa korban meluas. Kesadaran tersebut harus segera diikuti langkah-langkah operasional yang konkrit dan terencana, dengan kampanye pemilu yang damai.
IV. 2. Konflik Sosial Politik di Desa Dongos, Jepara, Pemilu 1999
Mayoritas (93%) masyarakat Jepara adalah pemeluk Islam, yang pada umumnya bekerja sebagai petani, buruh tani, nelayan, pedagang, pengrajin, pengusaha, dan pegawai negeri. Dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat Jepara dapat dikatakan makmur berkat keberhasilan industri ukir yang tidak hanya laku di dalam negeri melainkan juga di manca negara, bahkan sempat menjadi primadona non-migas. Pada umumnya mereka adalah masyarakat yang ramah terhadap para tamu dan pengunjungnya.
Menjelang pemilu 1999 situasi menjadi berubah secara drastis. Dari 3 (tiga) partai politik pada pemilu 1997, peserta pemilu pada tahun 1999 menjadi 48 partai politik yang bersaing untuk mendapatkan suara dari pemilih. Persaingan politik menimbulkan situasi rawan konflik dengan suhu politik yang menghangat dan kemudian memanas. Sebagian warga politik yang semula ramah dan santun menjadi beringas dan tanpa aturan. Kampanye partai politik menjadi ajang unjuk kekuatan yang disertai pelanggaran norma dan aturan yang cenderung melibatkan kekerasan.
Pada waktu itu, beberapa kali saya datang ke Jepara baik sebagai peneliti maupun pembicara dan hampir menjadi korban kekerasan, karena berpapasan dengan arak-arakan kampanye dengan atribut warna hijau dan kebetulan mobil saya berwarna merah, yakni kaca jendela mobil hampir kena pukulan kayu peserta kampanye yang terlihat mabuk bermata merah sangar dan mengacung-acungkan tangan dengan “yel-yel” partainya. Untung segera saya buka jendela mobil dan mengacungkan jari menunjukkan nomor partai peserta pemilu tersebut. Pengalaman itu saya sampaikan kepada pimpinan partai ybs di Jawa Tengah, tapi saya tak tahu apa yang dilakukannya kemudian.
Konflik sosial politik di Desa Dongos, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara diawali dengan situasi politik yang makin hangat, yakni deklarasi PKB pada 24 Maret 1999 yang gagal karena panggung diobrak-obrik oleh sekelompok massa simpatisan Partai lain. Ketika situasi makin memanas, pecahlah konflik besar antara para pendukung PPP dan PKB, pada 30 April 1999 yang mengakibatkan panggung PKB dirusak, puluhan orang luka-luka, sejumlah rumah dirusak dan dibakar, 4 (empat) orang meninggal dunia.
Berikut disampaikan kronologi peristiwa (Thowaf, tesis, 2002: 71-75).
(1) Deklarasi PKB yang semestinya diadakan di dukuh Sendang 24 Maret 1999, karena panggung dan lokasi pengajian diobrak-abrik, dan yang ketempatan diancam keselamatan dan keamanannya, akhirnya kegiatan deklarasi dan pengajian dibatalkan, demi keselamatan dan keamanan.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan partai, acara deklarasi PKB akan dilaksanakan di dukuh Randu Lanse di desa Dongos sekaligus dengan acara pengajian syukuran haji pada hari Jum’at tanggal 30 April 1999. Sejak pagi hari sudah dipersiapkan sarana prasarana deklarasi PKB, dengan membuat panggung teratak, dan dekorasi yang dikerjakan bersama-sama secara gotong royong.
(3) Kebetulan pada hari itu juga PPP akan mengadakan pengajian di desa Menganti dan desa itu sangat dekat dengan desa Dongos, karena waktunya sudah mendekati pemilu, sore harinya sebelum pengajian diadakan arak-arakan, dengan atribut partai dan yel-yel untuk kemenangan PPP.
(4) Ba’da sholat Jum’at tanggal 30 April pukul 14.00 wib pendukung PKB menuju lokasi deklarasi dipimpin KH Ali Muhsin, pimpinan PP Al Mustaqim, dengan membawa 7 mobil dan puluhan sepeda motor. Karena kendaraan terbatas, sebahagian simpatisan maupun santri jalan kaki, dengan jarak menuju lokasi kurang lebih 3 km dan bertemu pendukung PPP secara baik-baik di lapangan Bugel.
(5) Rombongan PKB kemudian melanjutkan konvoi perjalanannya ke Dongos dan berpapasan dengan konvoi PPP dari arah yang berlawanan di jembatan perbatasan Bogel-Sowan Lor. Sesampai di perempatan Blok M, peserta konvoi PPP mulai menampakkan arogansinya dengan mencabut pedang, senjata tajam dan rotan ke arah rombongan PKB, aksi itu berlanjut saling mengejek.
(6) Karena massanya lebih banyak, konvoi PPP kemudian berbalik arah dan mengejar rombongan PKB yang disusul massa PPP lainnya yang ada di lapangan Bugel. Sesampai di pertigaan Ponpes Al Ikhlas RT 1 RW 2, satu-satunya jalan masuk menuju tempat diselenggarakannya deklarasi dan syukuran haji, terjadi pelemparan batu oleh massa PPP setempat terhadap rombongan PKB. Dalam insiden ini salah seorang terluka, lokasi deklarasi dikepung dan diblokade oleh massa PPP dari berbagai penjuru, suasana sangat mencekam, ibu-ibu dan anak-anak di sekitar tempat tersebut menangis histeris.
Beberapa massa PPP dengan seragam kelompok…. (menyebut sejumlah nama orang) secara bergelombang dan bergantian menyerang secara brutal ke lokasi pengajian PKB. Massa PPP yang menggunakan parang, pedang, clurit dan senjata tajam lainnya terus merangsek ke arah lokasi, bahkan ada yang membawa botol berisi bensin. Kondisi ini tidak seimbang, karena yang dikepung sangat sedikit dibanding dengan massa PPP yang mengepung, dan massa PKB tidak memiliki dan tidak membawa senjata apapun, karena kedatangannya di desa Dongos untuk menghadiri Deklarasi PKB dan pengajian. Konflik antara PPP dan PKB berpuncak pada hari Jum’at, 30 April sekitar jam 16.00 wib sampai dengan jam 23.000 wib, di desa Dongos, Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara.
Petugas Polsek Kecamatan Kedung segera melaksanakan tugas mereka tetapi tidak bias masuk lokasi kejadian, karena dihadang beberapa orang dengan membawa senjata tajam dengan mengatakan, kalau ingin mati silahkan masuk, kalau ingin selamat silahkan pulang.
Penyerangan terus berlangsung dan listril di desa Dongos dipadamkan, untuk melerai situasi konflik dan kebakaran supaya tidak meluas. Massa PKB berusaha untuk menyelamatkan dan mempertahankan diri, namun karena tenaganya sudah terkuras dan kondisi lokasi jalan buntu dengan di belakangnya sungai sehingga kondisi lingkungan medan menjadi sulit untuk menyelamatkan diri.
Pada dini hari tanggal 1 Mei 1999 pukul 04.00 wib akibat dari insiden tersebut empat orang meninggal dalam kondisi yang mengenaskan, yakni seorang simpatisan PPP dan tiga orang simpatisan PKB, selain puluhan orang terluka, sedangkan kerugian materiil berupa 3 rumah dibakar…., 2 rumah rusak berat…., dan beberapa rumah rusak terkena lemparan batu; 15 mobil roda empat dan 7 sepeda motor rusak, semua mobil dan sepeda motor milik simpatisan PKB yang akan menghadiri acara deklarasi partai.

Menurut penulis tesis, Siti Munawaroh Thowaf (2002: 76), “meluasnya konflik tidak hanya terjadi di desa Dongos, terjadi juga bentrokan-bentrokan sporadis di beberapa tempat di luar desa Dongos.”
Kiranya peristiwa tersebut dapat menjadi pelajaran sangat berharga tidak saja bagi partai peserta pemilu seperti PPP dan PKB, melainkan partai-partai politik peserta pemilu yang lain, agar para pemimpinnya sebagai tokoh-tokoh panutan tak jemu-jemu, terus-menerus mengobarkan dan menggalakkan kampanye perdamaian, melaksanakan kampanye pemilu yang bermartabat.
V. Solusi dan Pengelolaan Konflik
(1) Kapolda Metro Jaya Irjen Makbul Padmanegara (Kompas Senin, 22 Desember 2003/49)
(a) Optimistis seluruh proses pemilu akan berlangsung aman. “Masyarakat sekarang kan sudah tidak mudah diprovokasi.”
(b) Polisi akan selalu berkoordinasi dengan KPU Daerah maupun Pusat. Begitu pun dengan pimpinan daerah seperti Gubernur, wali kota, dan bupati.
(c) Terhadap massa peserta kampanye, polisi juga tidak akan memberi toleransi pelanggaran hukum.
(d) Pengamanan pada hari pemungutan suara juga akan dilakukan lebih baik dengan mengerahkan seluruh aparat kepolisian, dibantu TNI, dan rakyat terlatih (bias satpam, banpol, hansip, atau petugas Ketenteraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat). Semua kekuatan itu sudah dan akan segera dilatih melaksanakan tugasnya mengamankan tempat pemungutan suara sampai pada penghitungan kartu suara.
(e) Dibantu alat komunikasi yang memadahi, setiap petugas di TPS akan bias menghubungi polisi di mobil patroli yang akan segera menuju lokasi jika terjadi kerawanan sosial.
(f) Kalau mungkin, ajang pemilu itu justru menjadi salah satu obyek wisata politik.
(2) Sosiolog UI, Dr Imam B Prasodjo dan Prof Paulus Wirutomo (Kompas Senin, 22 Desember 2003/49)
(a) Membenarkan adanya potensi-potensi kerawanan sosial yang dipicu oleh kebijakan pemerintah setempat, seperti penggusuran, penertiban pedagang kaki lima, penertiban permukiman liar di kolong jembatan tol, dan kebijakan controversial di bidang angkutan umum….
(b) Satu-satunya cara (meminimalkan potensi kerawanan sosial) adalah menghentikan atau minimal mengurangi kebijakan yang menyengsarakan warganya. Sebab, bukan tidak mungkin mereka yang terkena dampak buruk kebijakan publik itu dimanfaatkan kelompok lain untuk tujuan politik atau kepentingannya sendiri.
(3) Direktur Institut Titian Perdamaian (ITP) Ichsan Malik, pada jumpa pers Panwas mengenai peta kerentanan Pemilu 2004 di daerah konflik dan pasca konflik, Jakarta, Minggu, 28-12-2003 (Kompas Senin, 29 Desember 2003/11).
Selain merupakan ekspresi berpolitik rakyat, pemilu juga merupakan ajang persaingan. Namun, di balik itu, pemilu bisa dimanfaatkan sebagai ajang rekonsiliasi dan juga pencegahan konflik baru.
(4) Kesepakatan Bersama 24 Parpol peserta Pemilu 2004 dengan Kepala Polri di Markar Besar Polri, Jl. Trunojoyo, Jakarta, Senin, 29-12-2003 (Kompas Selasa, 30 Desember 2003/11).
(a) Kesepakatan berisi 6 butir komitmen dari pemimpin ke-24 parpol dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’I Bachtiar, tentang keinginan mereka agar Pemilu 2004 berlangsung tanpa pelanggaran hukum, agar Pemilu 2004 berlangsung aman, tertib, dan lancar.
(b) Salah satu butir penting kesepakatan ini adalah adanya komitmen pimpinan parpol dalam penanganan proses hukum bila terjadi tindak pidana yang dilakukan pengurus, kader, atau simpatisan partai.
(5) Lima Kesepakatan 24 Parpol dan Kapolda Jabar Irjen Dadang Garnida (Kompas Selasa, 30 Desember 2003/11).
(a) Pertama, dalam menjalankan peran dan kegiatannya sebagai parpol peserta pemilu, parpol akan menaati ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, khususnya perundang-undangan Pemilu 2004.
(b) Kedua, menciptakan dan memelihara koordinasi yang efektif antara pengurus parpol dan pihak Polda Jabar menurut tingkatannya dalam proses pemberitahuan kampanye Pemilu 2004, pengaturan penggunaan kendaraan angkutan peserta kampanye, sejak menuju ke dan kembali dari lokasi kampanye, maupun dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2004.
(c) Ketiga, membentuk dan memberdayakan forum komunikasi bersama satuan tugas pengamanan parpol dan Polda Jabar guna mewujudkan suasana dan semangat kebersamaan dalam menyelenggarakan Pemilu 2004, dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
(d) Keempat, melaksanakan tugas gabungan antara satuan tugas pengamanan parpol dan Polda Jabar dalam membantu tugas pengamanan Pemilu 2004, khususnya kegiatan pemilu yang berpeluang terjadinya pengerahan atau pengumpulan massa simpatisan parpol.
(e) Kelima, hal-hal yang memerlukan penjabaran lebih lanjut diserahkan kepada ketuaparpol wilayah Jabar menurut tingkatannya dengan jajaran Polda Jabar di tingkatannya masing-masing.
(6) Sosiolog Ignas Kleden (Kompas Selasa, 30 Desember 2003/9).
(a) Belum meredanya konflik horizontal bernuansa etnik, sosial dan ekonomi di daerah-daerah sepanjang tahun 2003 merupakan isyarat bahwa mesyarakat di daerah selalu menjadi ajang pertarungan kepentingan politik tingkat tinggi. Termasuk di antaranya pasukan TNI dan Kepolisian RI yang menelan korban jiwa dan merusak fasilitas yang mestinya dipelihara bersama.
(b) Dua penyebab utama dari fenomena tersebut, yang sifatnya saling berkait. Pertama, pranata sosial sudah tidak ampuh menyadarkan perlunya penyelesaian konflik secara damai. Pranata sosial semacam lembaga-lembaga adat sudah ikut porak-poranda karena disusupi berbagai kepentingan…. Kini sudah tidak sacral dan dihormati oleh masyarakat. Kedua, kalangan elite penguasa sendiri tidak berupaya menunjukkan kedewasaan dalam berbeda pemikiran dan pandangan.
(c) Menghimbau para elite politik dan pemegang kekuasaan untuk tidak memelihara paternalistik sebagai upaya melegitimasi kekuatan dan kepentingan. Sebab, paternalistic yang dikelola secara keliru selamanya akan menjadi hambatan bagi terwujudnya bangsa yang beradab. “Sebagai contoh, karena paternalistic yang salah tempay, setiap kali menjelang pemilu selalu terjadi konflik massa antar pendukung partai politik di lapisan bawah.”
(7) Tajuk Rencana “Mengapa Kekuasaan itu yang Dipertontonkan” (Kompas Selasa, 23 Desember 2003/4)
(a) Keberhasilan pembangunan demokrasi menuntut lima syarat: 1. adanya ruang bagi perkembangan rakyat sipil (civil society); 2. tegaknya the rule of law; 3. birokrasi negara yang efektif; 4. masyarakat ekonomi yang terlembaga; dan 5. hadirnya masyarakat politik atau partai politik.
(b) Pertanyaannya, apakah orang-orang parpol menunjukkan komitmen untuk membangun demokrasi? Di sinilah kita merasa prihatin. Keinginan dari pemimpin parpol untuk membangun demokrasi itu tidak tercermin dalam kenyataannya pada kehidupan sehari-hari. Kita justru menangkap bahwa orang-orang parpol seperti lepas kendali. Mereka hanya menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk unjuk kekuatan, bukan untuk membawa bangsa dan negara ini menuju kemajuan. Banyak contoh yang bisa dipakai untuk menunjukkan itu. Yang paling akhir adalah apa yang diperlihatkan para kader parpol yang ada di DPRD Karanganyar. Betapa mereka tidak lagi memedulikan yang namanya aturan, yang namanya proses demokrasi yang mereka bangun sendiri.
(c) Kalau kita bersepakat untuk membangun demokrasi, selayaknya kita harus berani mengoreksi ketidakbenaran yang terjadi sekarang ini. Harus ada keberanian dari pimpinan politik nasional, baik presiden, wakil presiden, menteri, maupun pemimpin parpol, untuk menegur dan mengajari kader-kadernya untuk lebih benar menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang politisi. Kita tidak cukup lagi hanya berwacana. Kita harus berani mendidik kader-kader agar menjadi politisi yang berkualitas. Politisi yang memperhatikan aspirasi rakyatnya, bukan politisi yang sekadar pamer kekuasaan, unjuk kekuatan, apalagi asyik dengan dirinya sendiri, memperkaya dirinya sendiri.
Semarang, 2 Januari 2004

Daftar Pustaka

Dalgish, Gerard M. Ed. 1997. Webster’s Dictionary of American English. New York: Random House.

Duverger, Maurice. 1998 (1972). Sosiologi Politik. Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Giddens, Antony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity.

Harris, Marvin. 1978a (1974). Cows, Pigs, Wars and Witches: The Riddles of Culture. New York: Vintage.

________. 1978b (1977). Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. New York: Random House.

Jary, David dan Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.

Kompas Senin, 22 Desember 2003/49; Selasa, 23 Desember 2003/4; Senin, 29 Desember 2003/11; Selasa, 30 Desember 2003/9 & 11.

Thowaf, Siti Munawaroh. 2002. Politik dan Kekerasan: Studi Kasus Peristiwa Konflik Sosial di Desa Dongos Kabupaten Jepara Tahun 1999. Tesis M. Ag. Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang.

TPJT (Tim Peneliti Jawa Tengah). 1998. Sistem Nilai Sosial Budaya Masyarakat – Studi tentang Santet dan Kerusuhan Sosial di Jawa Tengah. Laporan Penelitian.