Rabu, 13 Januari 2010

PENULISAN KARYA ILMIAH BIDANG SOSIAL HUMANIORA


I. Pendahuluan
Dalam pengembangan kehidupan akademik, keilmuan dan penelitian, penulisan artikel ilmiah merupakan kegiatan produktif yang sangat penting. Kegiatan ini tidak hanya merupakan perwujudan tanggungjawab ilmiah bagi para akademisi, ilmuwan dan peneliti, melainkan juga menjadi ekspresi komunikasi yang membawa konsekuensi bagi pengembangan kegiatan-kegiatan akademik lain yang menyertainya. Bagi pengajar di Perguruan Tinggi, menulis artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal atau majalah ilmiah dapat menghasilkan kum yang dapat digunakan untuk kenaikan pangkat dan jabatan; bagi penulis lain, artikel ilmiah dapat digunakan untuk menyosialisasikan dan mengkomunikasikan gagasan dan hasil penelitiannya kepada khalayak pembaca, terutama yang berminat sebidang studi atau kajian.
Jurnal ilmiah mengenai bidang-bidang sosial humaniora dapat berisi artikel ilmiah dari hasil penelitian pustaka atau penelitian lapangan; hasil wawancara; ulasan atau gagasan keilmuan atau kebudayaan; tinjauan buku; kritik atau tanggapan terhadap teori atau hasil penelitian, atau terhadap artikel yang pernah dimuat. Keaslian, kebaruan dan kejujuran akademik dalam penulisan artikel ilmiah lazimnya mendapat nilai dan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya, plagiarism (plagiat) atau pencurian karya merupakan perbuatan terkutuk yang harus diberi sanksi akademik.
Tulisan berikut ini merupakan usaha untuk memberikan pemahaman singkat mengenai penulisan artikel ilmiah untuk bidang-bidang sosial humaniora yang dapat digunakan sebagai pedoman awal bagi para penulis dan calon penulis jurnal atau majalah ilmiah, baik yang diterbitkan oleh lembaga Pendidikan Tinggi maupun lembaga-lembaga penelitian dan instansi lain.

II. Bidang Disiplin, Pemilihan dan Pembatasan Topik
II. 1. Bidang Disiplin
Ilmu-ilmu sosial humaniora meliputi bidang-bidang disiplin yang luas seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, politik, hukum, psikologi, pendidikan, pemerintahan, bisnis, geografi, sejarah, sastra, kesenian, bahasa, filsafat, teologi/ilmu agama, yang mempelajari manusia dari perspektif kegiatan sosial dan budayanya, dan terfokus pada nilai-nilai manusia dan masyarakat (human and social values). Tingkah laku manusia, organisasi manusia dan hubungan antar manusia dan antar masyarakat seringkali ditunjuk sebagai pokok persoalan dalam bidang-bidang sosial humaniora.
Selain itu, bidang-bidang sosial humaniora sering dikaitkan dengan teknik dan metode penelitian dan penyajian hasil penelitian, dengan menggunakan pengumpulan dan analisis data yang deskriptif. Dapat dikatakan bahwa paradigma penulisan artikel ilmiah dalam bidang sosial humaniora adalah kualitatif, meskipun seringkali juga didukung data dan analisis kuantitatif – sehingga tidak merupakan tabu bagi artikel bidang-bidang sosial humaniora untuk memanfaatkan data dan analisis statistik, dengan penyajian statistical figures.
II. 2. Pemilihan dan Pembatasan Topik
Memilih topik untuk artikel ilmiah bersangkutan dengan penilaian dan keputusan penulis mengenai suatu persoalan atau permasalahan yang akan ditulis. Para penulis berpengalaman mengetahui bahwa mutu tulisannya tergantung pada bagaimana mereka menggarap topik (Troyka, 1987: 17-20). Oleh sebab itu, para penulis artikel harus yakin benar bahwa topik yang dipilihnya adalah persoalan yang diketahuinya secara memadai, dengan bahan-bahan atau sumber-sumber tulisan yang cukup mudah diperoleh. Pendeknya, jangan menulis artikel dengan topik yang tidak cukup Anda kuasai. “Write about what you know,” saran George Williams (kutip Westheimer, dalam Burack, 1976: 91).
Apabila Anda hanya punya sedikit pengetahuan mengenai topik tersebut, maka setidak-tidaknya Anda punya kemauan, minat dan motivasi yang begitu besar terhadap topik yang Anda pilih. Dengan kemauan, minat dan motivasi yang besar, keingintahuan Anda terhadap persoalan tersebut juga besar sehingga Anda terdorong untuk melakukan penelitian mengenai persoalan tersebut. Akan tetapi kemauan, minat dan motivasi barulah merupakan modal awal yang hanya bisa terwujud menjadi artikel ilmiah jika Anda dengan tekun memprosesnya.
Dalam perjalanan dari sebuah topik menjadi judul artikel dikenal langkah pembatasan atau penyempitan topik (limiting/narrowing the topic). Sebuah topik yang begitu besar dan luas harus dipecah-pecah (cutting down) ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terinci yang sekiranya cukup memadai untuk penyusunan sebuah artikel. Demikian pula yang terjadi dengan sebuah hasil penelitian: dari sebuah laporan penelitian, Anda dapat menyusun sejumlah artikel untuk jurnal ilmiah.
Untuk memecah topik ke dalam cakupan sebuah artikel ilmiah, Anda dapat membatasinya dalam kurun waktu, tempat dan jumlah, dengan menyoroti subyek persoalan yang terbatas melalui sub-sub topik (lihat Willingham & Warders, 1978: 93-5; 143-46). Dalam penentuan subyek menjadi judul, sub topik dapat dipecah atau berdiri sendiri, dapat pula dipadukan dengan sub topik lainnya.
Misalnya:
Pembatasan Subyek dengan Topik “Kota Semarang”
Sub-Sub Topik:
(1) Transportasi; (2) Perumahan; (3) Perekonomian Rakyat;
(4) Pertokoan dan Pasar; (5) Kesenian; (6) Kawasan; (7) Keagamaan;
(8) Pendidikan; (9) Kemiskinan; (10) Perikanan;
(11) Kaum Muda/Remaja; dsb.
A. Sub Topik: (1) Transportasi dan (2) Perumahan
Judul: “Transportasi dan Perumahan: Studi mengenai Sarana Transportasi Umum di Enam Perumahan Sederhana di Kecamatan Tembalang dan Kecamatan Semarang Barat”
B. Sub Topik: (3) Perekonomian Rakyat, (4) Pertokoan dan Pasar, dan (6) Kawasan
Judul: “Dilema Pedagang Kaki Lima di Kawasan Bisnis: Penataan, Penggusuran, Pengangguran?”
C. Sub Topik: (5) Kesenian
Judul: “Pengembangan Kesenian Tradisional: Mau Dibawa Ke Mana ‘Gambang Semarang’?
D. Sub Topik: (7) Keagamaan, (8) Pendidikan dan (11) Kaum Muda/Remaja
Judul: “Warisan Para Aulia: Tradisi Mengaji dan Tadarus sebagai Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan terhadap Remaja sebagai Penangkal Krisis Moral”
E. Sub Topik: (9) Kemiskinan dan (10) Perikanan
Judul: “Nelayan dan Kemiskinan: Pendapatan dan Pengeluaran Keluarga Nelayan di Bandarhardjo, Semarang”

III. Penggunaan Perpustakaan, Penyusunan Draft dan Outline
III. 1. Penggunaan Perpustakaan
Setelah menentukan judul, Anda harus segera mengumpulkan material acuan, yang berarti kunjungan ke perpustakaan dan menemukan sumber-sumber informasi yang relevan dengan topik dan judul yang telah ditentukan. Adakalanya informasi dapat diperoleh dari lembaga, instansi atau kantor, atau bahkan individu tertentu, yang menyimpan dokumen, arsip dan sumber-sumber informasi lain mengenai topik dan judul yang Anda kerjakan.
Lebih mudah apabila artikel yang Anda kerjakan adalah bagian dari hasil penelitian, yang dapat Anda susun kembali ke dalam format artikel untuk jurnal ilmiah. Dapat terjadi bahwa penyandang dana penelitian menuntut artikel ilmiah yang siap muat, selain laporan penelitian, sehingga Anda hanya mengirimkan artikel tersebut ke jurnal ilmiah yang sesuai dengan tulisan Anda.
III. 2. Penyusunan Draft dan Outline
Setelah bahan-bahan terkumpul, Anda menyusun rancangan penulisan secara kasar (draft) dalam bentuk rincian garis besar (outline). Outline dapat membantu penulis artikel mengorganisasikan gagasan dan bahan-bahan informasi yang diperoleh ke dalam keseluruhan yang logis dan koheren Dalam outline, bagian-bagian dalam rancangan artikel disesuaikan dengan organisasi penulisan artikel untuk jurnal ilmiah yang dituju, karena masing-masing jurnal ilmiah punya pedoman atau ketentuan penulisan yang berlaku untuk tulisan yang akan dimuat.

IV. Organisasi Penulisan
Secara garis besar, organisasi penulisan artikel mirip dengan struktur fisik manusia, dari atas ke bawah:
(1) Bagian Kepala (yang terdiri dari Judul tulisan, Nama penulis dan
Lembaga, Abstrak dan Kata kunci, Pendahuluan);
(2) Bagian Tubuh (Isi atau Inti tulisan);
(3) Bagian Kaki (Kesimpulan dan Saran, dll.).
Apabila disamakan dengan laporan penelitian (research report), maka salah satu formatnya, menurut Robert Weissberg & Suzanne Buker (1990) adalah
(1) The Introduction, yang dapat berisi “Establishing a Context” dan/atau “Reviewing Previous Research” dan/atau “Advancing to Present Research” (Weissberg & Buker, 1990: 20-89).
(2) Method, yang menguraikan langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan studi dan material yang digunakan pada setiap langkah. Bagian metode ini berguna bagi pembaca yang ingin mengetahui bagaimana metodologi studi yang dilakukan dapat mempengaruhi hasil, atau bagi mereka yang ingin menggunakan langkah-langkah yang sama atau mengembangkan studi Anda (Weissberg & Buker, 1990: 90-112).
(3) Materials, maksudnya adalah peralatan (equipment), instrumen, model yang digunakan untuk penyelenggaraan riset, yang berupa kategori-kategori: peralatan laboratori (laboratory equipment), peralatan lapangan (field equipment), subyek-subyek manusia atau binatang (human or animal subjects), zat-zat alam (natural substances), material fabrikasi (fabricated materials), survei, kuesioner dan tes, model-model komputer, model-model matematika (Weissberg & Buker, 1990: 113-14, -135). Dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora, materials dapat berupa manusia peneliti yang melakukan pengamatan dan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara.
(4) Results, di mana penulis menyajikan temuan-temuan studi dan secara singkat memberikan komentar atasnya. Beberapa penulis menyatukan “results” dan “discussions” yang menunjukkan adanya komentar-komentar yang lebih ekstensif terhadap temuan-temuan studi (Weissberg & Buker, 1990: 136-159).
(5) Discussion, menurut Weissberg & Buker (1990: 160), merupakan bagian utama terakhir dari tulisan. Dalam bagian ini, penulis kembali ke belakang (temuan) dan menyampaikan pandangan yang luas mengenai temuan-temuan dan studi secara keseluruhan. Sebagaimana Introduction, peneliti/penulis menggunakan bagian Discussion untuk mencermati karyanya dalam konteks yang lebih luas dalam bidang disiplinnya. Seringkali bagian Discussion ini disebut Conclusions. Bagian ini membawa pembaca kembali dari informasi spesifik yang disajikan dalam bagian-bagian methods dan results kepada “pandangan umum yang lebih luas” (general view) mengenai bagaimana temuan-temuan harus ditafsirkan (Weissberg & Buker, 1990: 160-183).
(6) Abstract, yang sebenarnya terletak pada bagian pertama dari tulisan, pada bidang sesudah judul (title) dan sebelum pendahuluan (introduction). Abstrak menyampaikan preview dari studi yang dilakukan berdasarkan informasi dari bagian-bagian lain dari tulisan. Biasanya Abstrak ditulis terakhir kali, tapi terletak di bagian atas dari sebuah artikel ilmiah. Banyak pembaca yang membaca Abstrak terlebih dahulu untuk mendapatkan informasi yang cukup mengenai studi yang disampaikan untuk menentukan apakah pembaca perlu membaca seluruh artikel atau tidak (Weissberg & Buker, 1990: 184-197).
Berikut ini disampaikan beberapa contoh mengenai organisasi artikel yang diambilkan dari beberapa jurnal ilmiah untuk bidang-bidang sosial humaniora yang terbit di Semarang dan Jakarta.
(1) Judul: Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pasar Gula Kelapa menuju Kualitas Ekspor di Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas
Oleh Teguh Djuharyanto

Abstrak
I. PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
B. Perumusan Masalah
II. METODE BINAAN
A. Kelompok Sasaran
B. Metode Binaan
III. HASIL KEGIATAN
1. Pembinaan Kualitas Produk
2. Pembinaan Pemasaran
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
2. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
(Bimasuci Jurnal Jaringan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan, No. 6 Tahun 1997, hal. 36-41)

(2) Judul: Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
oleh Mukhtar Sarman
Abstrak
(Tanpa judul Pendahuluan)
Ide Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program IDT
Realitas Gerakan Penanggulangan Kemiskinan
Kesimpulan dan Implikasi
(Tanpa Daftar Pustaka tapi menggunakan Catatan Kaki)
(PRISMA Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial. No. 1, 1997, hal. 33-42).
(3) Judul: Land Use, Tambak Ownership, and Tambak Cultivation: a Case Study of ‘Sumbersari’ in North Central Java
By Nurdien H. Kistanto

ABSTRACT
I. INTRODUCTION
II. LAND USE
III. TAMBAK OWNERSHIP
IV. TYPES OF TAMBAK CULTIVATION
V. CONCLUSION
BIBLIOGRAPHY
(Journal of Coastal Development, Volume 4, Number 2, February 2001, pp. 73-78).

(4) Judul: PELABUHAN BANJARMASIN, 1900-1940: Profil sebuah Pelabuhan Sungai
oleh Endang Susilowati

Abstract
1. Pendahuluan
2. Kondisi Fisik Pelabuhan
3. Aktivitas Pelabuhan
3. 1. Pelayaran
3. 2. Perdagangan
3. 3. Bongkar Muat
4. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
(Kajian Sastra Jurnal Bidang Kebahasaan, Kesusastraan & Kebudayaan. No. 3 Tahun XXVI Juli 2002, hal. 151-157).

Majalah Sosial Humaniora UNDIP memberikan Pedoman Naskah sbb.:
1. Judul
2. Nama Penulis
3. Abstrak dan Kata kunci
4. Batang Tubuh: (a) Pendahuluan; (b) Metode Penelitian; (c) Hasil; (d) Pembahasan (c dan d bisa digabung); (e) Simpulan dan Saran; (f) Pernyataan Terima Kasih (bila ada); (g) Daftar Pustaka.





Daftar Pustaka

Burack, A. S. Ed. 1976. The Writer’s Handbook. Boston: The Writer, Inc.

Gibaldi, Joseph and Walter S. Achtert. 1980. MLA Handbook for Writers of Research Papers, Theses, and Dissertations. New York: Modern Language Association.

Troyka, Lynn Quitman. 1987. Simon & Schuster Handbook for Writers. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Weissberg, Robert and Suzanne Buker. 1990. Writing Up Research. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Willingham, John R. and Donald F. Warders. 1978. A Handbook for Student

MENUJU SEAFOOD ECO-LABELLING BERBASIS MASYARAKAT


1. Pendahuluan
Dalam satu dasawarsa (1990an-2000an) belakangan ini perdagangan ikan laut untuk konsumsi berkembang di wilayah Asia Tenggara. Negara-negara besar di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina menjadi negara-negara produsen ikan dan udang laut rasa enak bagi negara-negara Hong Kong, Taiwan, Cina, dan Singapura. Tentu menyusul negara-negara lain, tidak hanya di sekitar Asia Timur.
Gagasan untuk memasuki sistem eco labeling bagi produk perikanan laut Indonesia merupakan tanggapan terhadap sejumlah tekanan yang mendesak untuk kegiatan perdagangan hasil laut antar negara yang go global, antara lain:
(1) Meningkatnya permintaan pasar global terhadap hasil laut, khususnya ikan dan udang eksotik bagi makanan rasa enak;
(2) Meningkatkan produksi bagi negara pengekspor seperti Indonesia;
(3) Mempedulikan metode-metode penangkapan ikan yang berkelanjutan (sustainable fisheries), environmentally friendly, ramah lingkungan dan tidak merusak anasir-anasir biota laut;
(4) Menghindari terganggunya sumberdaya perikanan seperti terumbu karang, taman laut, lingkungan pantai;
(5) Mempertahankan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil tangkapan dari laut;
(6) Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan sumberdaya perikanan sebagai basis bargaining power ekonomi dan industri perikanan laut; dan last but not least,
(7) Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat, terutama kelompok-kelompok nelayan yang merupakan ujung tombak dari kegiatan penangkapan yang menghasilkan produksi laut.
Gagasan, tuntutan dan tekanan ramah lingkungan dengan memasuki sistem eco labelling memberikan kesempatan yang logis terhadap para pengamat, pemeduli dan pecinta lingkungan bersama para industrialis yang didukung kebijakan pemerintah untuk mengembangkan idealisme dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan laut dan pesisir. Dalam fenomena ini agaknya telah berkembang dan melakukan kemitraan antara para industrialis dengan motif-motif ekonomi industri yang bergandengan tangan dengan idealisme pecinta lingkungan “demi pelestarian lingkungan” menuju sustainable development dalam wujud spesifik sustainable fisheries. Berbagai motif, maksud, dan tujuan yang mulya maupun yang bertendens dapat terlibat dalam gagasan dan ideologi apa pun.
Bagaimana pun juga, tuntutan untuk menjadi ramah lingkungan dengan mengenakan sertifikasi dalam sistem eco labeling tetap jauh lebih baik daripada kita memusuhi importir bagi produk hasil laut kita dan mengikuti tradisi-tradisi baru bangsa moderen untuk kesejahteraan manusia. Sehingga pada masa nanti kita tidak dipersalahkan oleh anak-cucu kita bahwa kita merupakan generasi perusak lingkungan yang membiarkan sumberdaya perikanan kita dijarah oleh bangsa sendiri dan bangsa lain yang tidak mempedulikan kepentingan pelestarian alam bagi mereka, penerus peradaban kita. Hutang-hutang kita terutama kepada generasi manusia sesudah kita.

II. Berbasis Masyarakat
Semua gagasan, ideologi, kegiatan dan tuntutan seharusnya ditujukan terutama untuk kesejahteraan manusia, untuk kelangsungan dan peningkatan harkat hidup manusia. Gagasan dan langkah-langkah para pecinta lingkungan untuk memasuki babakan baru dalam perdagangan hasil sumberdaya perikanan lebih mudah dipahami oleh para pecinta lingkungan, para industrialis dan para ilmuwan, serta, mungkin pemerintah – tapi bagaimana dengan mereka yang disebut “masyarakat” atau “komunitas” atau “rakyat” yang seringkali disebut sebagai pihak “yang diperjuangkan” nasibnya?
Tentu tidak mudah bagi para nelayan untuk memahami maksud dan tujuan dari pengenaan sistem eco labelling yang sesungguhnya berdampak langsung bagi kegiatan mereka, nasib hidup mereka, tingkat kesejahteraan mereka, kelanjutan penghidupan keturunan mereka dan berbagai dimensi kehidupan mereka – terlebih-lebih jika kegiatan penangkapan ikan, yang menjadi target, telah menjadi darah-daging-tulang-sumsum mereka sehari-hari, bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bergenerasi-generasi.
Untuk kepentingan tersebut dan kepentingan-kepentingan “mulya” lainnya yang mengatasnamakan “keramahan lingkungan,” “sustainable fisheries,” “kesejahteraan masyarakat” (nelayan, pembudidaya perikanan), kegiatan-kegiatan yang “berbasis masyarakat” wajib dilakukan, agar mereka paham, tidak mudah menerima informasi lain yang berlawanan dengan maksud dan tujuan “mulya” para industrialis, pecinta lingkungan, dan pemerintah, yang dapat dan mudah menyulut dan membakar maksud dan tujuan lain.
Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA) atau dengan sebutan-sebutan lain semacam itu - yang merupakan pendekatan dan metode partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, yang pada lazimnya digunakan untuk mengajak masyarakat berperan serta dalam kegiatan dengan tujuan akhir melakukan pemberdayaan - kiranya sudah cukup dikenal di lingkungan lembaga-lembaga berbasis masyarakat. Secara singkat disampaikan berikut ini.

III. RRA dan PRA
III. 1. Perbandingan dan Prinsip-Prinsip RRA dan PRA
Tabel 1 menunjukkan perbandingan unsur-unsur dan prinsip-prinsip kesinambungan antara RRA dan PRA.







Tabel 1: Perbandingan antara RRA dan PRA
RRA PRA
(1) Kurun perkemb
(2) Pembaharu
(3) Pengguna utama
(4) Sumber informasi yg dilihat lebih dulu
(5) Pembaharuan utama
(6) Paling banyak
digunakan
(7) Tujuan ideal

(8) Hasil jangka
Panjang (1) Akhir 1970an-80an
(2) Universitas
(3) Lembaga donor, Univ.
(4) Pengetahuan masyarakat setempat
(5) Metode
(6) Penggalian, elicitif

(7) Belajar melalui orang luar
(8) Perencanaan, proyek,
publikasi (1) Akhir 1980an-90an
(2) LSM
(3) LSM, org lapang pem.
(4) Kemampuan masyarakat setempat
(5) Perilaku
(6) Fasilitasi, partisipatif

(7) Pemberdayaan
masyarakat setempat
(8) Kelembagaan &
tindakan masy setempat yg
berkelanjutan
Prinsip-Prinsip Kesinambungan RRA dan PRA
Sifat Proses Metode RRA Metode PRA
(1) Cara melakukan

(2) Peran orang luar
(3) Informasi dimiliki,
dianalisis dan digunakan (1) Penggalian, elicitif

(2) Penyelidik/peneliti
(3) Oleh orang luar (1) Saling berbagi,
Pemberdayaan
(2) Fasilitator
(3) Masyarakat setempat
Diolah dari Robert Chambers 1996: 30-33.

Pemanfaatan prinsip-prinsip tersebut harus mempertimbangkan tahapannya. Yang pertama-tama harus dilakukan adalah penyusunan perencanaan, sehingga agaknya RRA lebih tepat, atau in-between, di antara RRA dan PRA. Prinsip-prinsip tersebut disajikan berikut ini.


III. 2. Beberapa Prinsip dalam RRA dan PRA
(1) Pembalikan pemahaman: belajar dari masyarakat desa, secara langsung, di daerah pinggiran (pantai), mendapatkan pengetahuan fisik, teknis, dan sosial secara lokal;
(2) Belajar secara cepat dan progresif: melalui eksplorasi dan terencana, pemakaian metode yang fleksibel, improvisasi, pengulangan, cek silang, tidak mengikuti program cetak biru tapi menyesuaikan proses belajar atau pemahaman;
(3) Menyeimbangkan bias, khususnya bagi wisata pengembangan pedesaan, rileks dan tidak tergesa-gesa, mendengarkan dan bukan menggurui, penggalian topik, tidak memaksakan, mencari masyarakat yang lebih miskin dan dianggap bodoh, memahami prioritas dan pokok perhatian mereka;
(4) Mencari keanekaragaman: dengan “maksimalisasi keanekaragaman dan kekayaan informasi” dan dengan pengambilan sampel non-statistik melainkan secara deskriptif – sehingga harus diperhatikan bahwa penjelasan deskriptif memerlukan catatan-catatan dan mencermati kontradiksi, anomali (variasi dari apa yang normal) dan perbedaan-perbedaan.
III. 2. 1. Prinsip-Prinsip Tambahan yang Ditekankan dalam PRA
(1) Memfasilitasi penyelidikan, analisis, penyajian dan pemahaman oleh masyarakat sendiri, sehingga mereka dapat menyajikan, memiliki hasil dan mempelajarinya: handling over the stick, memberikan wewenang kepada masyarakat untuk memahami, merencanakan dan melakukan;
(2) Kesadaran dan tanggungjawab diri yang kritis: fasilitator terus-menerus menguji tingkah-laku mereka dan mencoba melakukannya secara lebih baik, termasuk menerima kesalahan untuk melakukan yang lebih baik; menggunakan penilaian orang yang paling baik, yakni mereka yang dapat menerima tanggungjawab diri;
(3) Saling berbagi informasi dan gagasan antar masyarakat desa, atau antar kelompok masyarakat desa; antara masyarakat desa dengan fasilitator; antar fasilitator yang berbeda, yang saling berbagi wilayah kegiatan, pelatihan dan pengalaman antar organisasi atau kelompok yang berbeda.

III. 2. 2. Strategi, Pendekatan dan Metode

(1). Strategi dan Pendekatan
Strategi yang dipilih adalah strategi perencanaan yang lebih berorientasi pada karakteristik “dari bawah ke atas” atau bottom-up strategy. Strategi ini sesuai dengan pendekatan yang telah ditentukan yakni “berbasis komunitas” (community based approach) yang menilai tinggi partisipasi masyarakat dalam proses-proses perumusan masalah dan penyusunan perencanaan, dengan orang luar sebagai fasilitator sehingga pandangan dari dalam masyarakat sendiri (emic) merupakan pendekatan utama.
(2). Metode
Sedangkan metode-metode dan langkah-langkah yang ditempuh, terutama dalam pengumpulan dan analisis data mengikuti metode-metode yang lazim dimanfaatkan dalam PRA (lihat Chambers 1996: 36-39), antara lain:
(1) Sumber sekunder: berkas, laporan, peta, foto, artikel, buku;
(2) Informan kunci: mengetahui secara mendalam persoalan dan masalah dalam masyarakat setempat;
(3) Wawancara semi-terstruktur, memperoleh checklist tertulis atau tidak-tertulis tapi terbuka dan, mungkin, unpredictable;
(4) Kegiatan dan wawancara dengan berbagai kelompok dan jenis serta kepentingan;
(5) Mereka - yakni masyarakat sebagai pengamat dan peneliti: kaum wanita, kaum miskin, guru sekolah, sukarelawan, pelajar, petani, nelayan dan ahli pedesaan – melakukan pengamatan, wawancara dengan penduduk desa lain, menganalisis data dan menyajikan hasilnya;
(6) Membuat model dan peta secara partisipatif: masyarakat menggunakan tanah, lantai, kertas, untuk membuat peta sosial, kependudukan, kesehatan, sumber daya alam atau peta pertanian;
(7) Transect walks: berjalan dengan informan secara sistematis melewati suatu area, mengamati, menanyakan, mendengarkan, mendiskusikan, mengidentifikasi zona yang berbeda, teknologi lokal, mengenalkan teknologi; menemukan masalah, peluang dan pemecahan; membuat peta sumberdaya dan penemuan-penemuan;
(8) Lintasan waktu: kronologi kejadian, daftar kejadian utama yang diingat;
(9) Analisis kecenderungan: pertimbangan masyarakat pada waktu yang lalu tentang bagaimana hal-hal yang dekat dengan mereka berubah, sejarah ekologis, pola dan perubahan kegiatan kerja; perubahan kebiasaan dan praktik, perubahan dan kecenderungan penduduk, migrasi, penggunaan BBM, pendidikan, kesehatan, praktik kredit, sebab-sebab perubahan dan kecenderungan;
(10) Ethnobiographies: sejarah lokal suatu kegiatan penting seperti menelayan, perbaikan atau pembuatan perahu, penangkapan ikan di laut, dst.;
(11) Membuat diagram musiman: musim utama atau bulanan, musim panen atau musim tangkap ikan besar/ikan kecil, dll.;
(12) Analisis matapencaharian: stabilitas, krisis dan penanggulangannya, pendapatan, pengeluaran, kredit dan hutang, kegiatan ganda, dll.;
(13) Membuat diagram secara partisipatif: metode untuk identifikasi individu dan lembaga penting di dalam dan bagi komunitas, serta hubungan mereka;
(14) Tingkat kesejahteraan: identifikasi kelompok rumahtangga menurut kesejahteraan dan kesehatannya, termasuk yang paling miskin dan paling buruk;
(15) Analisis perbedaan: melalui gender, kelompok sosial, kesejahteraan, kemiskinan, pekerjaan, usia; identifikasi perbedaan antar kelompok, masalah dan pilihan mereka: perbandingan kontras antar keluarga, menanyakan pada keluarga tentang keluarga lain yang berbeda, dan sebaliknya;
(16) Estimasi dan kuantifikasi, dapat menggunakan ukuran lokal;
(17) Penyelidikan kunci: dengan pertanyaan langsung ke masalah kunci, misalnya” “Apa yang anda lakukan ketika tidak menangkap ikan?” “Alat tangkap apa saja yang anda gunakan di musim ikan besar?” dsb.;
(18) Menyusun cerita, studi kasus dan profil;
(19) Menyusun tim: gabungan antara orang luar dan masyarakat atau stakeholder;
(20) Analisis dan penyajian: peta, model, diagram, penemuan yang disajikan oleh warga desa, atau bersama orang luar, diuji, dikoreksi dan didiskusikan;
(21) Perencanaan partisipatif, pembuatan anggaran dan pemantauan: warga desa menyiapkan rencana mereka sendiri, anggaran, jadual dan memantau perkembangannya;
(22) Kuesioner sederhana pada akhir proses, dirancang untuk pengisian tabel untuk laporan atau yang akan dibutuhkan kemudian;
(23) Laporan tertulis secara langsung, baik di lapangan sebelum kembali ke kantor maupun satu atau dua orang yang ditunjuk sebelumnya untuk melaksanakannya dengan segera setelah kegiatan RRA atau PRA.
Untuk keperluan mendesak, kiranya butir-butir dapat dikerjakan secara lebih sederhana.***
Semarang, 20 November 2003

BENTURAN PERADABAN PASCA INVASI AMERIKA TERHADAP IRAK

I. Pendahuluan
Kemenangan Amerika Serikat (AS), di bawah Presiden George W. Bush, dan sekutunya (Inggris Tony Blair dan Australia) atas Irak Saddam Hussein, meninggalkan rusaknya tatanan peradaban. Kerusakan tersebut antara lain ditandai dengan hancurnya sistem dan pelaksanaan hukum, ketertiban dan keamanan dengan perwujudan terjadinya penjarahan harta benda besar-besaran, yang belum pernah terjadi di mana pun – karena penjarahan tersebut telah menjangkau tempat paling elit di Irak, seperti Istana Kepresidenan, rumah-rumah keluarga Saddam dan para pejabat tinggi di Bagdad, oleh rakyat Irak sendiri.
Penjarahan tersebut menjadi lebih memalukan karena melibatkan pasukan AS, yang ketahuan mencuri dolar dan wartawan yang menyembunyikan belasan lukisan mahal keluarga Saddam Hussein. Agaknya tidak hanya sebagian rakyat Irak yang rusak mental dan moralnya karena perang, melainkan juga para anggota pasukan AS dan sekutu, serta wartawannya.
Tidak hanya itu, Museum sebagai penanda peradaban yang agung pada masa lampau pun mengalami penjarahan. Dari Washington, DC diberitakan (Suara Merdeka/SM Rabu Wage, 23 April 2003: I & X), para kolektor dan pedagang benda seni mengatakan, mereka siap membeli benda-benda bersejarah hasil jarahan dari museum-museum di Irak. Federal Bureau of Investigation (FBI – Biro Penyidik Federal AS) mencium, orang-orang di AS siap membeli 60 persen benda seni kelas dunia dari Museum Bagdad, illegal maupun legal. Ribuan benda bersejarah, sebagian berusia ribuan tahun (dari masa Asyria, Sumeria, Mesopotamia, dan lainnya), dijarah ketika pasukan AS menggulingkan rezim Saddam Hussein. Bekerja sama dengan badan-badan penegakan hukum internasional dan Pemerintah AS (Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri, Bea Cukai, CIA dan Interpol), serta para kolektor benda seni, juru lelang dan pakar, FBI berusaha menemukan kembali benda-benda berharga itu, yang diperkirakan akan dijual ke negara-negara kaya seperti AS, Inggris, Jerman, Jepang, Prancis, dan Swiss. Lynnch Chaffinch, manajer Program Pencurian Seni FBI, mengatakan, “Itu adalah kelahiran peradaban. Buka Cuma warisan Irak saja, melainkan juga warisan budaya dunia” (SM Rabu Wage, 23 April 2003: X).
Namun demikian, belum jelas bagi kita, apakah benda-benda seni yang dijarah itu, apabila sudah ditemukan, juga akan dikembalikan ke Irak?
II. Dominating Culture dan Subordinate Culture
Setelah Perang Dunia Kedua dan setelah Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet yang berakhir dengan keporakperandaan Soviet, AS benar-benar menjadi satu-satunya adikuasa dan adidaya di dunia. AS adalah Maharaja Kebudayaan dan Peradaban Dunia (World Dominating Culture) yang didukung unsur-unsur kebudayaan dan peradaban yang begitu canggih dalam SDM, manajemen dan teknologi, terutama teknologi informasi, komunikasi, perang, dan bioteknologi, yang tak tertandingi.
Sebagai Maharaja, tak jarang AS menjadi Maharaja Raksasa yang siap melalap apa saja yang diinginkan dan dikehendakinya, tanpa ada yang mampu mengendalikannya.
Invasi AS ke Irak bukan hanya menimbulkan akibat pergeseran tatanan politik dan pemerintahan, karena kegiatan perang membawa serta akibat berupa kerusakan elemen-elemen kebudayaan dan peradaban lain, termasuk peninggalan budaya dan peradaban dari masa lampau yang begitu berharga yang bernilai begitu tinggi. Selain itu, sebagai negara yang berpenduduk dan bersejarah panjang dalam kebudayaan dan peradaban Islam, tentulah kandungan kebudayaan dan peradaban Islam, yang tak ternilai harganya, tergilas sebagai korban tak tergantikan.
Bagi AS, Irak adalah sebuah kebudayaan dan peradaban subordinat (Subordinate Culture) yang begitu kecil, dengan wadah geografis yang tak lebih luas dari sebuah Negara Bagian. Telah menjadi karakteristik bagi subordinate culture bahwa nasibnya dikangkangi, dikalahkan, dipengaruhi, dan diungguli dalam kebudayaan material. Nasib Irak demikian juga.
Lebih-lebih dalam tatanan peradaban dunia yang tidak seimbang, di mana negara-negara subordinat lain, termasuk Indonesia beserta rakyatnya, hanya mampu berteriak-teriak, dengan suara yang lemah dan kemudian hilang, agar dicari cara-cara lain dalam AS mencapai tujuannya untuk “menghapus senjata pemusnah massal” dan “menggulingkan rezim Saddam Hussein.” Bahkan ratusan ribu rakyat AS sendiri dan rakyat negara-negara sekutunya, yang berkumpul di kota-kota dunia – termasuk di Washington, DC sendiri, London dan Sydney - untuk memprotes kelakuan pemerintahan George W. Bush yang begiru agresif pun tidak sedikit pun menggeser keputusannya.
III. Peradaban Dunia Baru
Tatanan peradaban dunia dengan sistem yang terlanjur berpola dominating dan subordinate culture memang begitu timpang, di mana kekuasaan dan kekayaan material negara adidaya AS begitu luar biasa besarnya, sedangkan negara-negara lain yang juga kaya – seperti Jerman dan Prancis, sekalipun mereka disatukan - tak cukup besar untuk menandinginya.
Belum lama ini, sejumlah intelektual Indonesia, yakni Jusuf Wanandi (Centre for Strategic and International Studies/CSIS), Roeslan Abdulgani (tokoh 45), Sri-Edi Swasono (pakar ekonomi), dan Nurcholish Madjid (pakar sosial dan keislaman), terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh surat kabar Pelita dengan tajuk “Tatanan Dunia Baru Pasca Perang Irak-AS.” Liputan diskusi tersebut (Kompas Jum’at, 25 April 2003/3) menyimpulkan bahwa
“Masih terlalu dini untuk membicarakan tentang tata dunia baru setelah serangan pasukan gabungan pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Irak. Situasi internasional kini masih berubah, aliansi-aliansi baru antarbangsa masih dalam taraf pembentukan. Namun, suka atau tidak suka, harus diakui bahwa AS merupakan satu-satunya negara adidaya dunia, setidaknya sampai masa 20-30 tahun ke depan, sebelum muncul kekuatan penyeimbang baru.”

Menurut Jusuf Wanandi, apa yang dilakukan (AS) di Irak baru merupakan tindakan awal. Tujuan akhir AS adalah melakukan pencegahan total kemungkinan berulangnya peristiwa semacam serangan 11 September. Peristiwa serangan 11 September amat menyakitkan bagi AS, negara yang sebelumnya hampir tak pernah bias menjadi sasaran serangan pihak asing.
Roeslan Abdulgani mengingatkan bahwa “di masa depan konflik antara Amerikanisme dan Zionisme di satu pihak melawan negara-negara miskin masih akan terus berkembang. Sebab serangan AS ke Irak antara lain akan mengakibatkan bangkitnya kembali gerakan-gerakan radikal Islam.”
Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan, “dalam menuju tata dunia baru perlu digalang berbagai forum kerja sama internasional untuk menghadapi AS. Karena, hanya dengan cara itu dunia dapat mengekang sikap unilateralisme AS. Menurut Nurcholish, “Di dalam negeri sikap Pemerintah AS yang unilateralis sudah mendapat banyak tentangan. Akan tetapi, juga harus ada check and balances di tingkat global. Jika tidak, AS bias menjadi sewenang-wenang,” dengan tambahan bahwa, “Jerman, Perancis, Rusia, dan Cina secara bersama-sama kini sudah mencoba menjadi kekuatan penyeimbang AS.”
IV. Penutup: Benturan Peradaban
Benturan demi benturan peradaban pasca perang AS di Irak agaknya akan terus terjadi. Sekalipun banyak analis menyatakan bahwa perang tersebut bukan perang agama, tak pelak akibat darinya sangat mudah membangkitkan kembali semangat radikal Islam untuk melakukan “serangan-serangan” balasan, yang bukan tidak mungkin juga didukung oleh negara-negara di luar lingkaran AS dan sekutunya, dengan modus-modus yang lebih canggih dan cermat.
Namun demikian, benturan peradaban yang berkembang tidak akan menuju benturan berbasis keagamaan, dengan mempertimbangkan keyakinan Nurcholish Madjid, misalnya, bahwa “perang itu bukanlah perang salib atau perang agama.” Alasan Nurcholish, “Kalau perang di Irak itu adalah perang salib, maka berarti Jerman adalah kekuatan yang ikut Islam, sementara Kuwait merupakan bagian dari pasukan salib.”
Pada pengamatan saya, dalam waktu yang panjang, AS masih akan tetap mendominasi dunia, tetapi ia harus selalu siap menghadapi berbagai kemungkinan teror dan serangan sporadis, yang membuat sistem keamanan dan investigasinya cukup kewalahan - sekalipun teror dan serangan tersebut tidak akan membuat AS bangkrut sedemikian besar.
Dalam benturan peradaban material, AS masih akan tetap menjadi pemenang yang unggul, tetapi dalam perlombaan kebudayaan spiritual banyak negara di dunia – terutama di belahan Timur - memiliki keunggulan yang menjadi incaran AS. Namun demikian, AS pun sesungguhnya punya kemampuan yang besar dan luar biasa untuk tidak habis-habisnya berusaha mencapai incaran-incaran dalam peradaban spiritual.***



Referensi

Kompas. Jum’at, 25 April 2003/3, “Terlalu Dini Bicarakan Tata Dunia Baru Pascaserangan AS ke Irak.”

Suara Merdeka. Rabu Wage, 23 April 2003/I & X, “Barang-Barang Jarahan dari Museum Irak Dijual ke AS.”

KONFLIK BERBASIS DAERAH PEMILIHAN DI JAWA TENGAH Konsep, Gagasan dan Kasus

I. Pendahuluan
Berdasar (1) Keputusan KPU No. 640/2003 tentang penetapan daerah pemilihan dan tatacara perhitungan jumlah kursi anggota DPR untuk setiap provinsi seluruh Indonesia dan (2) Keputusan KPU No. 653/2003 tentang penetapan daerah pemilihan, jumlah penduduk, dan jumlah kursi anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota dalam Pemilu 2004, KPU Provinsi Jawa Tengah mengumumkan tentang Daerah Pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kab/Kota (Suara Merdeka Selasa, 30 Desember 2003/14):
A. Daerah Pemilihan Anggota DPR Pusat untuk Anggota DPR Daerah Jawa Tengah terdiri dari 10 Daerah Pemilihan, sama dengan daerah pemilihan untuk Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, dengan catatan jumlah kursi masing-masing daerah pemilihan berbeda, yakni
(1) Jateng 1: Kendal, Salatiga (Kota), Semarang, Semarang (Kota);
(2) Jateng 2: Demak, Jepara, Kudus;
(3) Jateng 3: Blora, Grobogan, Rembang, Pati;
(4) Jateng 4: Sragen, Karanganyar, Wonogiri;
(5) Jateng 5: Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Surakarta (Kota);
(6) Jateng 6: Magelang, Magelang (Kota), Purworejo, Wonosobo, Temanggung;
(7) Jateng 7: Kebumen, Banjarnegara, Purbalingga;
(8) Jateng 8: Banyumas, Cilacap;
(9) Jateng 9: Brebes, Tegal, Tegal (Kota);
(10) Jateng 10: Batang, Pekalongan, Pekalongan (Kota), Pemalang.
B. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi
Terdiri dari 10 Daerah Pemilihan (= A).
C. Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kab/Kota
35 Daerah Pemilihan (DP) Kab/Kota, dengan masing-masing DP di bawahnya.
Daerah Provinsi Jawa Tengah memiliki jumlah penduduk 32.114.351, dengan pemilih dari 10 DP, yang akan memilih anggota DPRD Jawa Tengah untuk 100 kursi dengan kuota 321.143,51, dan dengan 24 partai politik peserta pemilu.
Sebagai salah satu daerah penting dalam peta politik nasional, Jawa Tengah dapat menjadi ajang pertarungan untuk kepentingan politik. Menjelang, selama dan setelah Pemilu 2004, situasi keamanan social di Jawa Tengah tidak mudah diprediksi. Dalam situasi demikian, yang diharapkan adalah kewaspadaan, kearifan, dan kerelaan berbeagai pihak untuk memperlakukan Pemilu 2004 tidak sebagai ajang untuk kepentingan pribadi dan kelompok sehingga mengorbankan keamanan sosial dan kesejahteraan rakyat.
II. Permasalahan
Tulisan ini mengangkat permasalahan konflik yang sudah dan mungkin dapat terjadi di daerah-daerah di Jawa Tengah berkaitan dengan pelaksanaan pemilu. Konsep dan gagasan mengenai konflik sosial politik akan disampaikan, disertai sampel kasus konflik yang terjadi di Jawa Tengah berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang telah berlangsung dari waktu ke waktu. Selanjutnya dari pengalaman-pengalaman konflik sosial politik dapat ditarik strategi-strategi solusi dan menghindarkan konflik, dalam pengelolaan konflik.
III. Pembahasan Konsep
Konsep mengenai konflik berkaitan dengan situasi percekcokan, perselisihan, pertikaian, pertentangan, benturan, antar manusia, yang dapat terjadi karena dipicu oleh perbedaan pendapat, pandangan, nilai, cita-cita, keinginan, kebutuhan, perasaan, kepentingan, kelakuan, atau kebiasaan. Dalam “Glossary of Basic Concepts,” dalam Sociology (Giddens, 1991: 724), “Conflict” disebut sebagai
Antagonism between individuals or groups in society. Conflict may take two forms. One occurs where there is a clash of interests between two or more individuals or groups; the other happens where people or collectivities engage in active struggle with one another. Interest conflict does not always lead to open struggle, while active conflicts may sometimes occur between parties who mistakenly believe their interests are opposed.

Menjelang puncak krisis politik dan ekonomi, sejumlah daerah dan lokasi di Jawa Tengah mengalami konflik atau antagonisme sosial dan politik yang sangat meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Pertanyaan dan diskusi bertubi-tubi telah digelar di berbagai kesempatan dan media, baik yang analitis maupun yang sekedar berbagi pengalaman. Keadaan ini berlangsung beberapa tahun belakangan, ketika krisis ekonomi dan politik benar-benar merasuki sendi-sendi sosial-budaya masyarakat di Jawa Tengah. Dalam kehidupan sosial politik, konflik berbasis kepentingan mudah terjadi karena berkembangnya perbedaan.
III. 1. Antagonisme dan Konflik
Antagonisme agaknya menjadi kata kunci yang cocok untuk menyebut gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi, karena istilah tersebut mengandung pengertian “permusuhan, perlawanan, kebencian, pertentangan, peringkaran” (Echols & Shadily, 1992: 30) atau “active hostility or opposition” (Dalgish, 1997: 27). Pengertian ini dekat dengan istilah konflik yang mengemban pengertian “percekcokan, perselisihan, pertentangan” (Echols & Shadily, 1992: 138) atau “to disagree, be in opposition, clash; a fight, battle, or struggle; disagreement, quarrel, argument” (Dalgish, 19967: 163).
Apabila dikaitkan dengan tekanan demografis yang dialami penduduk Jawa Tengah, “adalah suatu paham yang setua umur manusia bahwa di dalam negeri-negeri yang berkelebihan kepadatan penduduknya ketegangan-ketegangan sosial menjadi dahsat dan perang atau revolusi sering terjadi” (Duverger, 1998: 58). Selain itu antagonisme sosial juga dapat disebabkan oleh unsur-unsur kepribadian atau temperamen para pelakunya; dalam hal ini terdapat dua pendapat. Yang pertama, “temperamen adalah pembawaan sejak lahir, bersifat biologis; yang kedua, “temperamen terutama diperoleh melalui hubungan-hubungan psikososial” (Duverger, 1998: 183).
Dalam kenyataannya, antara faktor sifat biologis atau bawaan sejak lahir dan faktor pengaruh hubungan psikososial, sangat sulit untuk dipisah-pisahkan, ketika “orang banyak” sudah terjebak ke dalam “emosi massa” untuk melakukan “amuk massa” atau “kekerasan massa” (mass violence).
III. 2. Peperangan
Dengan pengertian-pengertian antagonisme dan konflik demikian, agaknya unsur-unsur perang atau peperangan juga terlibat mewarnai peristiwa-peristiwa yang menjadi isyu dalam konflik. Apabila antagonisme dan konflik modern ternyata memang melibatkan unsur-unsur peperangan, maka sebenarnya nasib manusia selalu berada dalam kondisi rawan sejak zaman baheula dan ketika peradaban manusia disebut pada tahapan “belum berkembang” atau “terbelakang” – untuk menghindari sebutan “primitif.”
Dalam antropologi mengenai bangsa “primitif,” antagonisme dan konflik yang melibatkan unsur-unsur peperangan (primitive war), menurut Marvin Harris (1978b: 48), merupakan kegiatan yang sangat tua (very ancient practice), tetapi karakteristiknya berbeda-beda dalam masa prasejarah dan masa sejarah. Dalam keterangan yang lain, Marvin Harris (1978a: 52) menyebutkan bahwa
Primitive war, like cow love or pig hate, has a practical basis. Primitive peoples go to war because they lack alternative solutions to certain problems – alternative solutions that would involve less suffering and fewer premature deaths.

III. 3. Pendidikan dan Kepentingan Politik
Sebagian dari masyarakat Jawa Tengah modern agaknya tidak berbeda jauh dari keadaan yang digambarkan oleh Marvin Harris, bahwa dasar atau alasan mereka bersitegang, kemudian meningkat pada situasi konflik yang kemudian berakhir dengan antagonisme dengan kekerasan massa, adalah karena tidak berkembangnya nilai-nilai alternatif, terutama dalam pendidikan politik yang memadai. Alternatif pendidikan politik untuk terbangunnya civil society agaknya terhambat selama puluhan tahun, sehingga ketika katup-katup penyumbat kesumpekan dibuka - yang sebenarnya untuk kepentingan kebebasan berpolitik - situasi jadi penuh ledakan di sana-sini. Sebagian orang memilih “peperangan” – bahkan dengan tetangga atau dengan lingkungan yang mungkin sebelumnya menjadi satu kelompok dengannya. Dalam praksis politik dan peperangan, misalnya, terdapat ungkapan, bahwa tidak ada koalisi atau kemitraan yang abadi; yang abadi adalah kepentingan politik itu sendiri.
Proses pendidikan politik yang gagal dapat berakibat pencapaian kepentingan politik yang melibatkan konflik dan kekerasan massa.
IV. Kasus-kasus Konflik Sosial Politik
Kasus-kasus konflik sosial politik di Jawa Tengah sebenarnya sangat sering terjadi, dari yang paling kecil dan tidak terlihat sampai pada yang besar, massif, sangat mencekam dan memprihatinkan yang melibatkan tindak kekerasan dan korban jiwa. Secara garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) kategori konflik sosial politik.
(1) Konflik batin karena perbedaan politik dan praktek-praktek politik agaknya yang paling banyak diderita masyarakat pelaku dan peserta politik. Konflik ini tidak tampak karena berada dalam batin masing-masing penderitanya, sebagian diungkapkan tapi lebih banyak sekali yang tidak. Lebih-lebih pada belakangan ini ketika praktek-praktek politik oleh para pelaku politik pada jajaran legislative, eksekutif, dan yudikatif. Pada hari-hari menjelang, saat dan pasca pemilu, konflik batin dapat dirasakan tapi sulit dilihat dan diraba.
(2) Konflik sosial politik yang ringan karena perbedaan kepentingan dapat diamati dari wacana dan praktek ekspresi politik melalui diskusi, perdebatan dan peragaan politik, sampai yang keras tapi tidak melibatkan kekerasan fisik.
(3) Konflik sosial politik yang berat disertai kekerasan fisik dan berdimensi kriminal, yang sampai melibatkan pertengkaran fisik dengan akibat terjadinya korban luka ringan, luka berat dan kematian serta kerugian harta benda.
Berikut ini disampaikan sampel dari kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan pemilu 1997 dan 1999 dari daerah pemilihan yang berbeda, agar dapat ditarik pelajaran darinya (lessons learnt) dan tidak terulang lagi.
IV. 1. Konflik Sosial Politik di Pekalongan Menjelang Pemilu 1997
Kerusuhan sosial-politik yang meluas terjadi di Pekalongan Selatan, Pekalongan, pada tanggal-tanggal 24-26 Maret, menjelang Pemilu 1997. Peristiwa mencekam dan mengorbankan harta-benda, jiwa dan raga warga masyarakat setempat itu dipicu oleh perebutan pengaruh politik dalam bentuk persaingan pemasangan lambang OPP (PPP vs Golkar) dan rencana penyelenggaraan panggung tablig akbar oleh Golkar di wilayah pengaruh mayoritas PPP.
Pada mulanya terjadi ketegangan dan bentrok antara aparat penertiban bendera yang bermaksud menurunkan bendera PPP dan warga pendukung PPP. Peristiwa itu berkembang menjadi kerusuhan sosial ketika panggung Golkar yang didirikan di depan Pondok Pesantren dibakar massa. Selanjutnya makin berkembang kerusuhan sosial yang menjalar menjadi perusakan dan pembakaran toko, kios, bangunan kantor, serta kendaraan beroda dua dan beroda empat.
Keadaan menjadi lebih parah ketika diketahui bahwa pihak aparat Kotamadya dan Muspida tidak dapat memenuhi tuntutan warga setempat untuk memindahkan panggung yang menjadi titik sengketa. Ketidakberanian Walikota dan Muspida untuk mengambil keputusan memindahkan lokasi panggung disebabkan oleh “kebijaksanaan dari atas.” Demikian pula upaya para kiai dan pengurus pondok pesantren agar panggung tablig akbar Golkar yang didirikan di depan pondok pesantren Al-Qur’an sebagai sumber konflik dipindahkan lokasinya, pun gagal karena alasan yang sama. Yang dimaksud “dari atas” adalah “kekuasaan yang lebih tinggi” dalam ABRI maupun pemerintahan.
Massa yang melakukan kerusuhan dan aktor intelektual (provokator) tidak dapat diidentifikasikan secara jelas. Mereka hanya dikenal sebagai perusuh dan aparat tak berani menentukan dari kelompok mana datangnya para perusuh itu. Dari situasi di lapangan terlihat jelas bahwa massa yang berkumpul dalam jumlah besar tidak mempercayai aparat pemerintah dan keamanan karena para aparat dinilai telah memihak OPP tertentu.
Peristiwa yang terjadi di Pekalongan sangat jelas bahwa pemicu utamanya adalah konflik yang menajam antar pendukung kelompok politik di era Orde Baru. Arogansi kekuasaan politik yang bekerjasama dengan birokrasi pemerintahan dan arogansi kekuasaan ekonomi menjadi tema penyebab kerusuhan sosial-politik ini. Peristiwa semacam ini diharapkan tidak terjadi lagi dengan dihentikannya praktek arogansi kekuasaan, terutama di lingkungan aparat pemerintah dan keamanan. Komunikasi dan azas kemitraan antar kelompok masyarakat pelaku dan peserta pemilu harus dikembangkan untuk menangkal kesalahpahaman, sikap saling curiga dan menang sendiri, tanpa memikirkan akibat yang terjadi dalam skala lokal yang membawa korban meluas. Kesadaran tersebut harus segera diikuti langkah-langkah operasional yang konkrit dan terencana, dengan kampanye pemilu yang damai.
IV. 2. Konflik Sosial Politik di Desa Dongos, Jepara, Pemilu 1999
Mayoritas (93%) masyarakat Jepara adalah pemeluk Islam, yang pada umumnya bekerja sebagai petani, buruh tani, nelayan, pedagang, pengrajin, pengusaha, dan pegawai negeri. Dalam satu dasawarsa terakhir, masyarakat Jepara dapat dikatakan makmur berkat keberhasilan industri ukir yang tidak hanya laku di dalam negeri melainkan juga di manca negara, bahkan sempat menjadi primadona non-migas. Pada umumnya mereka adalah masyarakat yang ramah terhadap para tamu dan pengunjungnya.
Menjelang pemilu 1999 situasi menjadi berubah secara drastis. Dari 3 (tiga) partai politik pada pemilu 1997, peserta pemilu pada tahun 1999 menjadi 48 partai politik yang bersaing untuk mendapatkan suara dari pemilih. Persaingan politik menimbulkan situasi rawan konflik dengan suhu politik yang menghangat dan kemudian memanas. Sebagian warga politik yang semula ramah dan santun menjadi beringas dan tanpa aturan. Kampanye partai politik menjadi ajang unjuk kekuatan yang disertai pelanggaran norma dan aturan yang cenderung melibatkan kekerasan.
Pada waktu itu, beberapa kali saya datang ke Jepara baik sebagai peneliti maupun pembicara dan hampir menjadi korban kekerasan, karena berpapasan dengan arak-arakan kampanye dengan atribut warna hijau dan kebetulan mobil saya berwarna merah, yakni kaca jendela mobil hampir kena pukulan kayu peserta kampanye yang terlihat mabuk bermata merah sangar dan mengacung-acungkan tangan dengan “yel-yel” partainya. Untung segera saya buka jendela mobil dan mengacungkan jari menunjukkan nomor partai peserta pemilu tersebut. Pengalaman itu saya sampaikan kepada pimpinan partai ybs di Jawa Tengah, tapi saya tak tahu apa yang dilakukannya kemudian.
Konflik sosial politik di Desa Dongos, Kecamatan Kedung, Kabupaten Jepara diawali dengan situasi politik yang makin hangat, yakni deklarasi PKB pada 24 Maret 1999 yang gagal karena panggung diobrak-obrik oleh sekelompok massa simpatisan Partai lain. Ketika situasi makin memanas, pecahlah konflik besar antara para pendukung PPP dan PKB, pada 30 April 1999 yang mengakibatkan panggung PKB dirusak, puluhan orang luka-luka, sejumlah rumah dirusak dan dibakar, 4 (empat) orang meninggal dunia.
Berikut disampaikan kronologi peristiwa (Thowaf, tesis, 2002: 71-75).
(1) Deklarasi PKB yang semestinya diadakan di dukuh Sendang 24 Maret 1999, karena panggung dan lokasi pengajian diobrak-abrik, dan yang ketempatan diancam keselamatan dan keamanannya, akhirnya kegiatan deklarasi dan pengajian dibatalkan, demi keselamatan dan keamanan.
(2) Untuk melaksanakan kegiatan partai, acara deklarasi PKB akan dilaksanakan di dukuh Randu Lanse di desa Dongos sekaligus dengan acara pengajian syukuran haji pada hari Jum’at tanggal 30 April 1999. Sejak pagi hari sudah dipersiapkan sarana prasarana deklarasi PKB, dengan membuat panggung teratak, dan dekorasi yang dikerjakan bersama-sama secara gotong royong.
(3) Kebetulan pada hari itu juga PPP akan mengadakan pengajian di desa Menganti dan desa itu sangat dekat dengan desa Dongos, karena waktunya sudah mendekati pemilu, sore harinya sebelum pengajian diadakan arak-arakan, dengan atribut partai dan yel-yel untuk kemenangan PPP.
(4) Ba’da sholat Jum’at tanggal 30 April pukul 14.00 wib pendukung PKB menuju lokasi deklarasi dipimpin KH Ali Muhsin, pimpinan PP Al Mustaqim, dengan membawa 7 mobil dan puluhan sepeda motor. Karena kendaraan terbatas, sebahagian simpatisan maupun santri jalan kaki, dengan jarak menuju lokasi kurang lebih 3 km dan bertemu pendukung PPP secara baik-baik di lapangan Bugel.
(5) Rombongan PKB kemudian melanjutkan konvoi perjalanannya ke Dongos dan berpapasan dengan konvoi PPP dari arah yang berlawanan di jembatan perbatasan Bogel-Sowan Lor. Sesampai di perempatan Blok M, peserta konvoi PPP mulai menampakkan arogansinya dengan mencabut pedang, senjata tajam dan rotan ke arah rombongan PKB, aksi itu berlanjut saling mengejek.
(6) Karena massanya lebih banyak, konvoi PPP kemudian berbalik arah dan mengejar rombongan PKB yang disusul massa PPP lainnya yang ada di lapangan Bugel. Sesampai di pertigaan Ponpes Al Ikhlas RT 1 RW 2, satu-satunya jalan masuk menuju tempat diselenggarakannya deklarasi dan syukuran haji, terjadi pelemparan batu oleh massa PPP setempat terhadap rombongan PKB. Dalam insiden ini salah seorang terluka, lokasi deklarasi dikepung dan diblokade oleh massa PPP dari berbagai penjuru, suasana sangat mencekam, ibu-ibu dan anak-anak di sekitar tempat tersebut menangis histeris.
Beberapa massa PPP dengan seragam kelompok…. (menyebut sejumlah nama orang) secara bergelombang dan bergantian menyerang secara brutal ke lokasi pengajian PKB. Massa PPP yang menggunakan parang, pedang, clurit dan senjata tajam lainnya terus merangsek ke arah lokasi, bahkan ada yang membawa botol berisi bensin. Kondisi ini tidak seimbang, karena yang dikepung sangat sedikit dibanding dengan massa PPP yang mengepung, dan massa PKB tidak memiliki dan tidak membawa senjata apapun, karena kedatangannya di desa Dongos untuk menghadiri Deklarasi PKB dan pengajian. Konflik antara PPP dan PKB berpuncak pada hari Jum’at, 30 April sekitar jam 16.00 wib sampai dengan jam 23.000 wib, di desa Dongos, Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara.
Petugas Polsek Kecamatan Kedung segera melaksanakan tugas mereka tetapi tidak bias masuk lokasi kejadian, karena dihadang beberapa orang dengan membawa senjata tajam dengan mengatakan, kalau ingin mati silahkan masuk, kalau ingin selamat silahkan pulang.
Penyerangan terus berlangsung dan listril di desa Dongos dipadamkan, untuk melerai situasi konflik dan kebakaran supaya tidak meluas. Massa PKB berusaha untuk menyelamatkan dan mempertahankan diri, namun karena tenaganya sudah terkuras dan kondisi lokasi jalan buntu dengan di belakangnya sungai sehingga kondisi lingkungan medan menjadi sulit untuk menyelamatkan diri.
Pada dini hari tanggal 1 Mei 1999 pukul 04.00 wib akibat dari insiden tersebut empat orang meninggal dalam kondisi yang mengenaskan, yakni seorang simpatisan PPP dan tiga orang simpatisan PKB, selain puluhan orang terluka, sedangkan kerugian materiil berupa 3 rumah dibakar…., 2 rumah rusak berat…., dan beberapa rumah rusak terkena lemparan batu; 15 mobil roda empat dan 7 sepeda motor rusak, semua mobil dan sepeda motor milik simpatisan PKB yang akan menghadiri acara deklarasi partai.

Menurut penulis tesis, Siti Munawaroh Thowaf (2002: 76), “meluasnya konflik tidak hanya terjadi di desa Dongos, terjadi juga bentrokan-bentrokan sporadis di beberapa tempat di luar desa Dongos.”
Kiranya peristiwa tersebut dapat menjadi pelajaran sangat berharga tidak saja bagi partai peserta pemilu seperti PPP dan PKB, melainkan partai-partai politik peserta pemilu yang lain, agar para pemimpinnya sebagai tokoh-tokoh panutan tak jemu-jemu, terus-menerus mengobarkan dan menggalakkan kampanye perdamaian, melaksanakan kampanye pemilu yang bermartabat.
V. Solusi dan Pengelolaan Konflik
(1) Kapolda Metro Jaya Irjen Makbul Padmanegara (Kompas Senin, 22 Desember 2003/49)
(a) Optimistis seluruh proses pemilu akan berlangsung aman. “Masyarakat sekarang kan sudah tidak mudah diprovokasi.”
(b) Polisi akan selalu berkoordinasi dengan KPU Daerah maupun Pusat. Begitu pun dengan pimpinan daerah seperti Gubernur, wali kota, dan bupati.
(c) Terhadap massa peserta kampanye, polisi juga tidak akan memberi toleransi pelanggaran hukum.
(d) Pengamanan pada hari pemungutan suara juga akan dilakukan lebih baik dengan mengerahkan seluruh aparat kepolisian, dibantu TNI, dan rakyat terlatih (bias satpam, banpol, hansip, atau petugas Ketenteraman, Ketertiban, dan Perlindungan Masyarakat). Semua kekuatan itu sudah dan akan segera dilatih melaksanakan tugasnya mengamankan tempat pemungutan suara sampai pada penghitungan kartu suara.
(e) Dibantu alat komunikasi yang memadahi, setiap petugas di TPS akan bias menghubungi polisi di mobil patroli yang akan segera menuju lokasi jika terjadi kerawanan sosial.
(f) Kalau mungkin, ajang pemilu itu justru menjadi salah satu obyek wisata politik.
(2) Sosiolog UI, Dr Imam B Prasodjo dan Prof Paulus Wirutomo (Kompas Senin, 22 Desember 2003/49)
(a) Membenarkan adanya potensi-potensi kerawanan sosial yang dipicu oleh kebijakan pemerintah setempat, seperti penggusuran, penertiban pedagang kaki lima, penertiban permukiman liar di kolong jembatan tol, dan kebijakan controversial di bidang angkutan umum….
(b) Satu-satunya cara (meminimalkan potensi kerawanan sosial) adalah menghentikan atau minimal mengurangi kebijakan yang menyengsarakan warganya. Sebab, bukan tidak mungkin mereka yang terkena dampak buruk kebijakan publik itu dimanfaatkan kelompok lain untuk tujuan politik atau kepentingannya sendiri.
(3) Direktur Institut Titian Perdamaian (ITP) Ichsan Malik, pada jumpa pers Panwas mengenai peta kerentanan Pemilu 2004 di daerah konflik dan pasca konflik, Jakarta, Minggu, 28-12-2003 (Kompas Senin, 29 Desember 2003/11).
Selain merupakan ekspresi berpolitik rakyat, pemilu juga merupakan ajang persaingan. Namun, di balik itu, pemilu bisa dimanfaatkan sebagai ajang rekonsiliasi dan juga pencegahan konflik baru.
(4) Kesepakatan Bersama 24 Parpol peserta Pemilu 2004 dengan Kepala Polri di Markar Besar Polri, Jl. Trunojoyo, Jakarta, Senin, 29-12-2003 (Kompas Selasa, 30 Desember 2003/11).
(a) Kesepakatan berisi 6 butir komitmen dari pemimpin ke-24 parpol dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’I Bachtiar, tentang keinginan mereka agar Pemilu 2004 berlangsung tanpa pelanggaran hukum, agar Pemilu 2004 berlangsung aman, tertib, dan lancar.
(b) Salah satu butir penting kesepakatan ini adalah adanya komitmen pimpinan parpol dalam penanganan proses hukum bila terjadi tindak pidana yang dilakukan pengurus, kader, atau simpatisan partai.
(5) Lima Kesepakatan 24 Parpol dan Kapolda Jabar Irjen Dadang Garnida (Kompas Selasa, 30 Desember 2003/11).
(a) Pertama, dalam menjalankan peran dan kegiatannya sebagai parpol peserta pemilu, parpol akan menaati ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, khususnya perundang-undangan Pemilu 2004.
(b) Kedua, menciptakan dan memelihara koordinasi yang efektif antara pengurus parpol dan pihak Polda Jabar menurut tingkatannya dalam proses pemberitahuan kampanye Pemilu 2004, pengaturan penggunaan kendaraan angkutan peserta kampanye, sejak menuju ke dan kembali dari lokasi kampanye, maupun dalam rangka penyelenggaraan Pemilu 2004.
(c) Ketiga, membentuk dan memberdayakan forum komunikasi bersama satuan tugas pengamanan parpol dan Polda Jabar guna mewujudkan suasana dan semangat kebersamaan dalam menyelenggarakan Pemilu 2004, dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
(d) Keempat, melaksanakan tugas gabungan antara satuan tugas pengamanan parpol dan Polda Jabar dalam membantu tugas pengamanan Pemilu 2004, khususnya kegiatan pemilu yang berpeluang terjadinya pengerahan atau pengumpulan massa simpatisan parpol.
(e) Kelima, hal-hal yang memerlukan penjabaran lebih lanjut diserahkan kepada ketuaparpol wilayah Jabar menurut tingkatannya dengan jajaran Polda Jabar di tingkatannya masing-masing.
(6) Sosiolog Ignas Kleden (Kompas Selasa, 30 Desember 2003/9).
(a) Belum meredanya konflik horizontal bernuansa etnik, sosial dan ekonomi di daerah-daerah sepanjang tahun 2003 merupakan isyarat bahwa mesyarakat di daerah selalu menjadi ajang pertarungan kepentingan politik tingkat tinggi. Termasuk di antaranya pasukan TNI dan Kepolisian RI yang menelan korban jiwa dan merusak fasilitas yang mestinya dipelihara bersama.
(b) Dua penyebab utama dari fenomena tersebut, yang sifatnya saling berkait. Pertama, pranata sosial sudah tidak ampuh menyadarkan perlunya penyelesaian konflik secara damai. Pranata sosial semacam lembaga-lembaga adat sudah ikut porak-poranda karena disusupi berbagai kepentingan…. Kini sudah tidak sacral dan dihormati oleh masyarakat. Kedua, kalangan elite penguasa sendiri tidak berupaya menunjukkan kedewasaan dalam berbeda pemikiran dan pandangan.
(c) Menghimbau para elite politik dan pemegang kekuasaan untuk tidak memelihara paternalistik sebagai upaya melegitimasi kekuatan dan kepentingan. Sebab, paternalistic yang dikelola secara keliru selamanya akan menjadi hambatan bagi terwujudnya bangsa yang beradab. “Sebagai contoh, karena paternalistic yang salah tempay, setiap kali menjelang pemilu selalu terjadi konflik massa antar pendukung partai politik di lapisan bawah.”
(7) Tajuk Rencana “Mengapa Kekuasaan itu yang Dipertontonkan” (Kompas Selasa, 23 Desember 2003/4)
(a) Keberhasilan pembangunan demokrasi menuntut lima syarat: 1. adanya ruang bagi perkembangan rakyat sipil (civil society); 2. tegaknya the rule of law; 3. birokrasi negara yang efektif; 4. masyarakat ekonomi yang terlembaga; dan 5. hadirnya masyarakat politik atau partai politik.
(b) Pertanyaannya, apakah orang-orang parpol menunjukkan komitmen untuk membangun demokrasi? Di sinilah kita merasa prihatin. Keinginan dari pemimpin parpol untuk membangun demokrasi itu tidak tercermin dalam kenyataannya pada kehidupan sehari-hari. Kita justru menangkap bahwa orang-orang parpol seperti lepas kendali. Mereka hanya menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk unjuk kekuatan, bukan untuk membawa bangsa dan negara ini menuju kemajuan. Banyak contoh yang bisa dipakai untuk menunjukkan itu. Yang paling akhir adalah apa yang diperlihatkan para kader parpol yang ada di DPRD Karanganyar. Betapa mereka tidak lagi memedulikan yang namanya aturan, yang namanya proses demokrasi yang mereka bangun sendiri.
(c) Kalau kita bersepakat untuk membangun demokrasi, selayaknya kita harus berani mengoreksi ketidakbenaran yang terjadi sekarang ini. Harus ada keberanian dari pimpinan politik nasional, baik presiden, wakil presiden, menteri, maupun pemimpin parpol, untuk menegur dan mengajari kader-kadernya untuk lebih benar menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang politisi. Kita tidak cukup lagi hanya berwacana. Kita harus berani mendidik kader-kader agar menjadi politisi yang berkualitas. Politisi yang memperhatikan aspirasi rakyatnya, bukan politisi yang sekadar pamer kekuasaan, unjuk kekuatan, apalagi asyik dengan dirinya sendiri, memperkaya dirinya sendiri.
Semarang, 2 Januari 2004

Daftar Pustaka

Dalgish, Gerard M. Ed. 1997. Webster’s Dictionary of American English. New York: Random House.

Duverger, Maurice. 1998 (1972). Sosiologi Politik. Terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Giddens, Antony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity.

Harris, Marvin. 1978a (1974). Cows, Pigs, Wars and Witches: The Riddles of Culture. New York: Vintage.

________. 1978b (1977). Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. New York: Random House.

Jary, David dan Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.

Kompas Senin, 22 Desember 2003/49; Selasa, 23 Desember 2003/4; Senin, 29 Desember 2003/11; Selasa, 30 Desember 2003/9 & 11.

Thowaf, Siti Munawaroh. 2002. Politik dan Kekerasan: Studi Kasus Peristiwa Konflik Sosial di Desa Dongos Kabupaten Jepara Tahun 1999. Tesis M. Ag. Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang.

TPJT (Tim Peneliti Jawa Tengah). 1998. Sistem Nilai Sosial Budaya Masyarakat – Studi tentang Santet dan Kerusuhan Sosial di Jawa Tengah. Laporan Penelitian.

PEMETAAN STAKEHOLDERS

Staheholder: siapa saja yg bkpntingan atau terkena dampak suatu program atau pengembangan.

Kbrhsln strategi pengembngn tergantung pd partisipasi masing-2 unsur stakeholders.

Langkah-2 menuju partisipasi stakeholders:
- Perumusan isyu;
- Penyusunan long list;
- Pemetaan stakeholders;
- Identifikasi stakeholders;
- Verifikasi stakeholders;
- Strategi mobilisasi stakeholders.

Pemetaan stakeholders untuk penentuan urutan prioritas dlm strategi pengembangan, berdsrkn kepentingan, kapasitas, dan relevansi dlm pengembangan, dg 4 kel stakeholders, sbb.

(1) Kel yg kepent & kkuatan pengaruhnya tinggi;
(2) Kel yg kepent tinggi, tp kkuatan pengaruhnya rendah;
(3) Kel yg kepent rendah, tp kkuatan pengaruhnya tinggi;
(4) Kel yg kepent & kkuatan pengaruhnya rendah
(Sugeng Wahyudi. 2003. “Stakeholder Pengembangan Bursa Efek (1).” Suara Merdeka. Selasa, 12 Agustus/hal. 12).

IDENTIFIKASI MASALAH KOTA SEMARANG DAN USULAN PEMECAHANNYA Kasus PKL Kawasan Simpang Lima dan Sekitarnya

IDENTIFIKASI MASALAH KOTA SEMARANG DAN USULAN PEMECAHANNYA

Kasus PKL Kawasan Simpang Lima dan Sekitarnya

Oleh Nurdien H Kistanto

I. Pendahuluan
Dalam dua dasawarsa ini kota Semarang telah menjadi “kota baru” dengan karakteristik baru yang jauh berbeda dari tiga dasawarsa sebelumnya. Simpang Lima, yang kesohor ke seantero negeri ini, telah menjadi hall mark atau penanda nilai kemajuan dan perkembangan kota Semarang. Seberapa tinggi kualitas, kemajuan, kemolekan, ketertiban, dan kesantunan penduduk Semarang dapat diukur dari kualitas, kemajuan, kemolekan, ketertiban dan kesantunan yang berlangsung di Simpang Lima. Sekarang Simpang Lima bukan sekedar menjadi milik warga Semarang, melainkan milik warga Jawa Tengah, bahkan Indonesia.
Pada tahun-tahun 1960an sampai awal 1970an kawasan lintas Jalan Gajah Mada menuju ke Jalan Pahlawan dan Jalan Pandanaran menuju ke Jalan A Yani belum berkembang menjadi bundaran yang kemudian ramai disebut Simpang Lima. Pada tahun-tahun 1960an, di sebelah kiri dan kanan lintasan tersebut masih penuh dengan air berrawa dan bersawah, dengan kendaraan bermotor yang masih bisa dihitung dengan jari, dengan kendaraan sepeda dan becak yang masih nyaman dinaiki. Pada tahun-tahun 1970an, naik becak berkeliling Simpang Lima masih menjadi hiburan yang menyenangkan.
II. Buah Industrialisasi
Bersamaan dengan industrialisasi sejak tiga setengah dasawarsa yang lalu Simpang Lima menggeliat sebagai potensi pusat keramaian, menggenapi posisinya yang strategis, sebagai pusat lintasan jalan-jalan protokol Gajah Mada, Pandanaran, Pahlawan dan A Yani. Warga kota menikmati buah-buah industrialisasi dengan penanda spiritual Masjid “Baiturrahman,” olah fisik “Gelanggang Olah Raga”/GOR (sekarang kompleks Hotel “Ciputra” dan Mal “Citra”), “Wisma Pancasila” (sekarang Pertokoan “Matahari”), Pertokoan “Micky Morse” (SE), dan Pertokoan “Plaza Simpang Lima,” selain Bioskop “Gajah Mada” (sekarang Pasar “Ramayana”). Sejak itu, warga Semarang dan sekitarnya suka tumpah ruah, menghibur diri, melengkapi kepenatan dan kesenangannya di kawasan Simpang Lima.

III. Gundukan-Gundukan Gula
Sejak pertengahan 1970an dan awal 1980an tepian jalan dan trotoar Simpang Lima menjadi gundukan-gundukan gula yang dirubung semut berasal dari daerah-daerah dalam wajah para pedagang makanan, minuman dan mainan. Kemudian bermunculan pedagang barang-barang lainnya, untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan. Tenda-tenda teh poci adalah fenomena 1990an, yang makin menunjukkan peningkatan pada puncak krisis ekonomi, heboh dengan ciblek-cibleknya. Kawasan Simpang Lima telah komplit pula dengan para pengamen dan pengemis, serta pencopetnya. Pada tahun 2000an, lapangan Simpang Lima menciptakan keriuhan baru, terutama bagi Pemerintah Kota, yakni dengan urusan pijat-memijat di atas rumput terbuka.
Para pedagang dan penyedia jasa besar, agak besar, menengah, kecil dan sangat kecil itu semua selalu berharap dan berdoa agar mereka mendapat berkah dari kawasan Simpang Lima, mereguk kesejahteraan dari gundukan-gundukan gula yang disetor oleh para pengunjungnya. Para pengunjung besar, agak besar, menengah, kecil, sangat kecil dan tak bernama.

IV. Masalah dan Usulan Pemecahan
(1) Dual Economy
Bagi para pengamat ekonomi, kawasan Simpang Lima dan sekitarnya dapat menjadi sampel yang sangat bagus untuk berlangsungnya kegiatan ekonomi perdagangan dan jasa yang mengandung dua wajah (dual economy) sekaligus dalam satu wadah berhimpitan, bersamaan, berdampingan (bandingkan Boeke, 1942) . Kegiatan ekonomi yang mungkin khas newly industrializing society, di mana sektor perdagangan dan jasa industrial belum sepenuhnya menjadi irama, gerak hidup dan nafas modernitas sebagian besar masyarakat. Dalam kawasan Simpang Lima berlangsung kegiatan-kegiatan “pasar modern” yang dikemas dan disajikan dengan investasi milyaran rupiah, berwajah gemerlapan pertokoan berhawa sejuk, sekaligus pula berkembang “pasar berskala mini” kelas eber (petty scale vendors) dengan pawitan bisa hanya puluhan atau ratusan ribu rupiah, bermuka PKL yang kusam, kepanasan, kumuh, murah, miskin dan tak berdaya. Di antara yang kusam dan murah itu tentu terdapat mereka yang mengecap gula kemakmuran kawasan Simpang Lima.
Mengingat kegiatan ekonomi eber yang kusam makin sangat sulit dibendung, usulan mengenai diciptakannya kawasan-kawasan (seperti) Simpang Lima baru kiranya mendesak untuk dilaksanakan, dengan menyalurkan keadilan dan ketertiban di kawasan baru, sambil menertibkan dengan pembelajaran di kawasan Simpang Lima sekarang. Penataan dan pengenaan “retribusi baru” kiranya dapat dilakukan secara bertahap, berhati-hati dan manusiawi.
(2) Lahan Bertuan
1) Para PKL hendaknya dibekali pembelajaran dan pemahaman bahwa kawasan Simpang Lima bukanlah lahan bebas, melainkan lahan bertuan, dan Tuannya adalah Masyarakat dan Pemerintah Kota.
2) Bagus bagi para PKL diberikan pemahaman bahwa “negara mawa tata” dan “Simpang Lima mawa cara.” Hukum dan Peraturan haruslah dikaitkan dengan nilai-nilai luhur masyarakat, dengan etika dan estetika yang dapat dinikmati tidak hanya oleh para PKL, melainkan pula oleh Penata Praja dan Warga Praja.
3) Para Pamong dan Penata Praja hendaknya tidak hanya mengutus Petugas Praja mengutip retribusi PKL, melainkan juga menyadari dampak dan konsekuensi dari pengutipan.
4) Para PKL harus mendapat bantuan dan bimbingan untuk memahami hidup bersama Pamong dan Penata Praja, Warga pengguna kawasan Simpang Lima dan sesama PKL.
5) Pada malam-malam puncak keramaian, disain tata ruang dan tata lahan hendaknya mengalami persiapan dan penertiban khusus, terutama di tengah lingkaran dan lapangan Simpang Lima.
6) Hal-hal lain dapat menjadi usulan untuk diskusi dan perdebatan, demi kebaikan dan kenyamanan semua stake holders kawasan Simpang Lima.
Semoga bermanfaat. Semarang, Selasa, 25 Mei 2004.

Strategi Penggalangan Massa Berdasarkan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Jawa Tengah

* Memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jateng
** Mampu membuat strategi mobilisasi masyarakat Jateng

I. Pendahuluan
Presentasi ini menyangkut 2 (dua) persoalan yang saling dikaitkan yaitu (1) pertama, strategi penggalangan massa, dan (2) kedua, kondisi sosial budaya masyarakat Jawa Tengah. Oleh karena kondisi sosial budaya masyarakat Jawa Tengah adalah yang diharapkan menjadi dasar dari strategi penggalangan massa, maka ia akan dipahami lebih dahulu. Dari pemahaman tersebut, kita diharapkan mampu menyusun strategi mobilisasi masyarakat Jawa Tengah.
II. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Jawa Tengah
Jawa Tengah adalah bagian dan pusat dari kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa bukanlah suatu kesatuan yang tunggal, tidaklah homogin. Kondisi sosial budayanya, dengan demikian, juga tidak bisa dipandang sama bagi semua orang Jawa atau pun orang Jawa Tengah.
Keaneka-ragaman regional masyarakat Jawa Tengah agaknya juga sesuai dengan keaneka-ragaman unsur-unsur kebudayaannya. Logat bahasa Jawa yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat Jawa Tengah, misalnya, sudah diketahui cukup beragam. Bahasa Jawa logat Tegal, logat Pekalongan, logat Banyumasan, logat Jepara-Rembang-Pati, logat Magelang-Borobudur-Muntilan, logat Solo, logat Semarang, dan bahkan logat Kaliwungu saja pun berbeda dari logat tetangganya, Kendal. Begitu pula unsur-unsur kebudayaan lainnya, seperti makanan, kesenian, tradisi upacara atau ritual, bahkan juga pakaian dan peralatan (lihat juga Koentjaraningrat 1984: 25-29).
Namun demikian, orang dapat memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa Tengah dengan melalui kawasan geografis, alam dan lingkungan. Dalam masyarakat Jawa Tengah dikenal “orang pesisiran” dan “orang pedalaman.” Orang-orang pesisiran Jawa Tengah dapat dilihat dari letak geografis yang dipengaruhi karakteristik masyarakat pesisiran yang terbentang dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Pati sampai Blora dan Cepu; sedangkan orang-orang pedalaman meliputi kawasan yang luas dari pengaruh kerajaan Sala, yang dikenal sebagai Negarigung, seperti Sragen, Banyumas, Magelang, Ambarawa, Salatiga dan hampir Ungaran, yang juga dipengaruhi oleh pusat-pusat kebudayaan Jawa seperti Yogyakarta.
Orang-orang Jawa Tengah pesisiran pada umumnya dikenal dengan karakteristik masyarakat yang lebih terbuka, agak kasar, suka berterus-terang, liberal, dan lebih demokratis; sedangkan orang-orang Jawa Tengah pedalaman agak tertutup, lebih halus, kurang suka berterus terang, dan lebih feodal.
III. Perubahan
Meskipun simpul-simpul kebudayaan dan peradabannya masih cukup kental, karakteristik-karakteristik orang pesisiran dan orang pedalaman seperti itu sekarang ini sudah berubah dan agak kabur, sebagai hasil dari pergaulan yang panjang dan pertukaran nilai-nilai yang makin terbuka antara masyarakat-masyarakat yang dipengaruhi kebudayaan pesisiran dan masyarakat-masyarakat yang dipengaruhi kebudayaan pedalaman dan nilai-nilai keraton Jawa. Sehingga dapat kita dapatkan orang-orang pesisiran yang cukup “halus” dan orang-orang pedalaman, kraton, yang “agak beringas,” “agak kasar,” dan “suka berterus-terang.” Keadaan sosial budaya demikian menjadi semakin tidak jelas apabila kita lihat dari merasuknya pengaruh nilai-nilai budaya lain sebagai hasil dari proses-proses globalisasi, yang didukung oleh kecanggihan manajemen, teknologi, dan secara khusus teknologi komunikasi dan informasi.
Dari perkembangan sosial budaya yang demikian, dapat saja terjadi peleburan nilai-nilai dan karakteristik-karakteristik pesisiran, pedalaman, dan global, Barat, moderen, pasca-moderen, dan seterusnya. Pemahaman terhadap masyarakat Jawa Tengah menjadi semakin rumit, kompleks, disebabkan oleh berkecamuknya pertemuan antar nilai-nilai. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa Tengah sudah mengalami terjadinya perubahan nilai-nilai sosial budaya, sehingga menggenggam nilai-nilai baru, namun nilai-nilai lama belum sepenuhnya ditinggalkan.
IV. Strategi Penggalangan Massa
Dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa Tengah mengalami proses-proses menjadi masyarakat moderen, sehingga strategi penggalangan massa, mau tidak mau, juga mempertimbangkan metode-metode moderen. Dalam pengertian demikian, partai politik adalah sebuah organisasi moderen.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam penggalangan massa adalah dengan memperlakukannya sebagai upaya pembangunan citra (image building). Metode-metode yang lazim digunakan dalam pembangunan citra adalah metode-metode public relations (hubungan masyarakat) dengan media massa (mass media of communication) untuk menyampaikan informasi.
Berikut ini disampaikan metode-metode strategis dalam penggalangan massa melalui satuan hubungan antara masyarakat, informasi dan media.
IV. 1. Masyarakat, Informasi dan Media
Masyarakat pada zaman sekarang lebih mudah mendapatkan informasi, sehingga cita-cita membentuk masyarakat yang mudah mengakses dan memanfaatkan informasi (well-informed society) lebih mudah dilaksanakan.

METODOLOGI PENELITIAN PARTISIPATIF DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Kerangka Berpikir dan Strategi

I. Pendahuluan: Latar Belakang
Pada masa lalu
 Penyusunan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadikan masyarakat sebagai obyek dan kurang terlibat dalam berbagai tahapan, yang meliputi:
• perumusan masalah
• penyusunan rencana dan kebijaksanaan
• pelaksanaan dan pengawasan pembangunan

Akibatnya
• perumusan masalah dan perencanaan pembangunan tidak sesuai dengan masalah nyata yang dihadapi masyarakat
• perencanaan dan kebijakan yang disusun kurang dapat memecahkan masalah masyarakat

 Dalam perencanaan dan kebijakan pelaksanaan, masyarakat diperlakukan sebagai pihak yang menerima, bukan partisipan, pelaksana dan pengawas
 sehingga kebijakan tidak dipahami dan tidak dapat diterima oleh masyarakat.
 Pendekatan demikian mendorong masyarakat cenderung kurang mendukung, masa bodoh, dan mungkin menolaknya - - tidak dapat dipertahankan lagi

Participatory Rural Appraisal (PRA)
• Proyek dan program “berbasis komunitas” (community based approach), “dengan partisipasi aktif masyarakat” dapat memanfaatkan PRA
• PRA memerlukan peran aktif masyarakat dalam menyusun perencanaan di wilayahnya, sehingga disebut pembangunan berbasis komunitas (community based development)
 Peneliti atau konsultan berperan utama sebagai fasilitator atau pendamping atau narasumber, yang bersama-sama masyarakat merencanakan program-program
II. Pergeseran Paradigmatik
 Pergeseran paradigmatik dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan meliputi:
(a) Dari pendekatan “atas ke bawah” (top-down approach) ke pendekatan “bawah ke atas” (bottom-up approach);
(b) dari pendekatan “standardisasi terpusat” (centrally standardized approach) ke pendekatan “penganeka-ragaman setempat” (locally diversified approach);
(c) dari pendekatan “cetak biru” (blue print approach) ke pendekatan “proses belajar” (learning process approach);
(d) dari pendekatan “survei dengan kuesioner” (survey approach) ke pendekatan “analisis & pemahaman secara partisipatif” (participatory analysis & appraisal approach);
(e) dari pendekatan “diambil oleh orang luar” (outsider/ethic approach) ke pendekatan “berbasis komunitas” (community based/emic approach)

 Konsultan/peneliti/tenaga ahli berperan sbg fasilitator/pendamping/narasumber
 pada saatnya mereka melimpahkan wewenang (handling over the stick) kepada masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan

III. Kerangka Berpikir PRA
 PRA: “pendekatan dan metode untuk mempelajari kondisi dan kehidupan pedesaan dari, dengan dan oleh masyarakat desa”
 Lebih luas: tidak sekedar proses memahami, melainkan analisis, perencanaan dan tindakan
 Metodologis: digunakan untuk menerangkan ragam pendekatan, sehingga dapat dilihat sebagai “sekelompok pendekatan dan metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa, membuat rencana dan bertindak”
(Chambers, 1996).

III. 1. Sumber-Sumber PRA
 PRA bersumber dari & sejalan dg metode-metode dalam
(1) Penelitian Partisipatif Radikal (activist participatory research): kelompok pendekatan dan metode yang menggunakan dialog, keterlibatan aktif peneliti dalam meningkatkan kesadaran & kepercayaan masyarakat agar memiliki kekuatan untuk bertindak.
Dua kelompok penelitian partisipatif yang berkaitan:
(a) penelitian partisipatif (participatory research) dan
(b) penelitian aksi partisipatif (partisipatory action research)
Sumbangan penelitian partisipatif terhadap PRA lebih banyak konsep dr pd metode, dengan gagasan:
(a) kaum miskin itu kreatif dan punya kemampuan, dapat dan harus lebih banyak melakukan penyelidikan, analisis dan perencanaan sendiri
(b) mereka yang terbuang punya peran sebagai anggota, katalis dan fasilitator
(c) yang lemah harus diberdayakan
(2) Analisis Agroekosistem (agroecosystem analysis), mendasarkan sistem & pemikiran ekologis, mengkombinasikan analisis sistem & sistem kepemilikan (produktivitas, stabilitas, keberlanjutan & keadilan) dg analisis pola keruang-an (peta & transek), waktu (kalender musim & kecenderungan jangka panjang), aliran & hubungan (arus, kausal, diagram Venn, dll), nilai-2 relatif (diagram batang dari sumber-2 pendapatan relatif, dsb) & keputusan (bagan keputusan, dll.).
Sumbangan analisis agroekosistem thd RRA/PRA:
(a) transek/transect (berjl-2 utk pengamatan yang sistematis);
(b) pemetaan informal (membuat sketsa peta di lokasi);
(c) pembuatan diagram (kalender musim, arus & diagram kausal/batang/Venn/“chapati”);
(d) penilaian inovasi (pemberian nilai & skala urutan kegiatan-2 yang berbeda-2).

(3) Antropologi Terapan/Sosial: membantu pengem-
bangan keahlian yg lebih baik untuk meningkatkan kekayaan & kesahihan pengetahuan masy desa, dapat membedakan antara ethic dan emic. Bersama antropologi sosial terjadi adopsi penilaian etnografis secara cepat dg ragam percakapan, pengamatan, wwcara informal & kelompok perhatian. Sumbangan antropologi sosial terhadap PRA: perluasan & penerapan pemikiran mendalam, yakni:
(a) gagasan bahwa belajar di lapangan merupakan seni yg luwes & bukan ilmu pengetahuan yg kaku;
(b) nilai hidup menetap di desa, pengamatan pelaku yg tidak tergesa-gesa dan percakapan;
(c) arti penting sikap, tingkahlaku & hubungan;
(d) perbedaan antara emic (pandangan dr dlm masy) & ethic (pandangan dr orang luar);
(e) kesahihan pengetahuan teknis & kearifan asli setempat (local knowledge dan local wisdom).





(4) Penelitian Lapang ttg Sistem Usaha Tani (Pelsut), yg menunjukkan kompleksitas, kemajemukan & rasionalitas praktik pertanian yg tampaknya tidak sistematis dan tidak teratur. Pelsut telah membuat sistematika metode utk menyelidiki, memahami & menentukan kompleksitas sistem usaha tani, tapi kadang harus berhenti krn survei yg lambat, membosankan & perolehan data yg berlebihan. Sumbangan Pelsut: dlm pemahaman ttg
(a) kompleksitas, keragaman & kerentanan thd risiko berbagai sistem usaha tani;
(b) pengetahuan, profesionalisme & rasionalitas para petani kecil & petani miskin;
(c) pola pikir & perilaku eksperimental petani;
(d) kemampuan petani utk melakukan analisis sendiri











(5) Memahami Desa Secara Cepat (Rapid Rural Appraisal/RRA): usaha utk mencari cara yg lebih baik bagi orang luar utk memahami kehidupan & kondisi pedesaan. Tiga asal usul RRA:
(a) ketidakpuasan adanya: bias keruangan (hanya me-ngunjungi desa yg dekat kota, dekat jln besar, dekat pusat desa, tapi mengabaikan desa pinggiran); bias proyek (perhatian & dukungan khusus kpd desa-2 wilayah proyek); bias personal (lbh sering menemui laki-2 drpd perempuan, elit drpd org miskin, pengguna jasa drpd yg tidak); bias musim (berkunjung pd musim baik saja); bias diplomatik (tdk berharap bertemu/menemukan org miskin atau kondisi buruk);
(b) kekecewaan thd proses survei konvensional dg kuesioner & hasilnya: berlebihan, membosankan, memusingkan, proses & penulisannya sbg mimpi buruk, data tidak akurat, tidak dapat jadi acuan, laporan makan waktu lama, menyesatkan, sulit digunakan & kadang malah diabaikan;
c) mencari metode-2 yg lebih efektif, dg kesadaran thd fakta bhw orang desa punya macam-2 pengetahuan berkaitan dg khdpn mrk (pengetahuan teknis asli, Indigenous Technical Knowledge/ITK), dg kekayaan & nilai utk tujuan praktis: bagaimana memberdayakan ITK sbg sumber informasi utk analisis dan penggunaannya oleh para ahli dari luar.


III. 2. Perbandingan & Prinsip-2 RRA & PRA
Dlm proyek pembangunan berbasis kemasyarakatan, strategi, pendekatan & langkah-2 yg dipilih dapat dilakukan secara berkesinambungan, antara RRA dan PRA.
Agar pemilihan metodologis utk perencanaan & pelaksanaan lebih jelas, Tabel 1 menyampaikan perbandingan & prinsip-2 dalam RRA & PRA.







Tabel 1: Perbandingan antara RRA dan PRA
RRA PRA
(1) Kurun waktu
perkembangan
(2) Pembaharu
(3) Pengguna
Utama

(4) Sumber2
informasi yg
dilihat lebih dulu
(5) Pembaharuan
utama
(6) Paling banyak digunakan
(7) Tujuan ideal

(8) Hasil-2 jangka
Panjang (1) Akhir 1970an-80an
(2) Universitas
(3) Lembaga donor, Universitas

(4) Pengetahuan masyarakat setempat

(5) Metode

(6) Elicitif, penggalian

(7) Belajar melalui
orang luar
(8) Perencanaan,
proyek, publikasi (1) Akhir 1980an-90an
(2) Ornop/LSM
(3) Ornop/LSM,
organisasi lapang
pemerintah
(4) Kemampuan masyarakat setempat

(5) Perilaku

(6) Fasilitasi, partisipatif
(7) Pemberdayaan
masyarakat setempat
(8) Kelembagaan
& tindakan masy
lokal berkelanjutan
Prinsip-Prinsip Kesinambungan RRA dan PRA
Sifat Proses RRA PRA
(1) Cara melakukan

(2) Peran orang luar
(3) Informasi dimiliki,
dianalisis & digunakan (1) Penggalian-elicitif

(2) Penyelidik/peneliti
(3) Oleh orang luar (1) Saling berbagi-
pemberdayaan
(2) Fasilitator
(3) Oleh masyarakat setempat
Diolah dari Robert Chambers 1996: 30-33.



RRA-PRA & Pentahapan
 Pemanfaatan unsur-2 & prinsip-2 ber-kesinambungan dlm RRA & PRA harus mempertimbang-kan tahapan. Bila yg dilakukan adalah pemahaman & penyerapan aspirasi masy, dilanjutkan dg penyusunan perencanaan, kmd pelaksanaan & pengawasan pembangun-an (oleh & utk masyarakat) mk strategi & langkah-2 dlm RRA & PRA dpt dilaksanakan scr berkesinambungan.

Batas Pentahapan Langkah-2 Kabur, Tidak Jelas
 Namun demikian, batas-2 pentahapan yg dilaksanakan ke dalam langkah-2 seringkali kabur, tidak jelas.
 Prinsip-2 RRA dan PRA disajikan berikut ini.










III. 2. 1. Beberapa Prinsip dalam RRA dan PRA
(1) Pembalikan pemahaman: belajar dr masy desa, langsung, di pinggiran (pantai/pedalaman/pegunungan), mendapat penget fisik, teknis, & sosial secara lokal;
(2) Belajar scr cepat & progresif: melalui eksplorasi terencana, pemakaian metode yg fleksibel, improvisasi, pengulangan, cek silang, tdk mengikuti program cetak biru tapi menyesuaikan proses belajar/pemahaman;
(3) Menyeimbangkan bias, khususnya bagi pengembangan wisata pedesaan, rileks, tidak tergesa-2, mendengarkan - bukan menggurui, penggalian topik, tidak memaksakan, mencari masyarakat yg lebih miskin, memahami prioritas & pokok perhatian mereka;
(4) Mencari keanekaragaman: dg “maksimalisasi keanekaragaman & kekayaan informasi” & dg pengambilan sampel non-statistik melainkan deskriptif – shg hrs diperhatikan bhw penjelasan deskriptif memerlukan catatan-2 & mencermati kontradiksi, anomali (variasi dari apa yg normal) & perbedaan-2.


III. 2. 2. Prinsip-2 Tambahan dalam PRA
(1) Memfasilitasi penyelidikan, analisis, penyajian & pemahaman oleh masy sendiri, shg mrk dpt menyajikan, memiliki hasil & mempelajarinya: handling over the stick, memberikan wewenang kpd masy utk memahami, merencanakan & melakukan;
(2) Kesadaran & tanggungjawab diri yg kritis: fasilitator terus-menerus menguji tingkah-laku mrk & mencoba melakukannya secara lebih baik, tmsk menerima kesalahan utk melakukan yg lebih baik; menggunakan penilaian orang yg paling baik, yakni mrk yg dapat menerima tanggungjawab diri;
(3) Saling berbagi informasi & gagasan antar masy atau antar kelompok masy; antara masy dan fasilitator; antar fasilitator yg berbeda, yg saling berbagi wilayah/ bidang kegiatan, pelatihan & pengalaman antar organisasi atau kelompok yg berbeda.

IV. Strategi, Pendekatan & Metode
IV. 1. Strategi & Pendekatan
Strategi dlm proyek pembangunan dg RRA & PRA: perencanaan berorientasi “dari bawah ke atas” (bottom-up strategy), sesuai pendekatan “berbasis komunitas” (community based approach), yg menilai tinggi partisipasi masy dlm proses-2 perumusan masalah & penyusunan perencanaan, dg orang luar sbg fasilitator shg pandangan dr dlm masy sendiri (emic) mrpkn pendekatan utama.


IV. 2. Metode & Langkah-Langkah RRA & PRA
(1) Pengumpulan sumber sekunder: berkas, laporan, peta, foto, artikel, buku, catatan resmi;
(2) Wwncara informan kunci, utk mengetahui scr mendlm meng persoalan & masalah dlm masy;
(3) Wwncara semi-terstruktur, memperoleh checklist terbuka & unpredictable;
(4) Melakukan pertemuan & wwncara dg berbagai kelompok & jenis serta kepentingan;
(5) Menjadikan masy sbg pengamat: kaum wanita, kaum miskin, guru, sukarelawan, pelajar, petani, pedagang, tokoh masy, utk melakukan pengamatan, wwncara dg penduduk, menganalisis data & menyajikan hasilnya;
(6) Membuat model & peta scr partisipatif, bers masy, dg menggunakan tanah, lantai, kertas: peta sos-ek, kependudukan, kesehatan, SDA, peta pertanian, peta wisata, desa tematik, dsb;
(7) Transect walks: berjalan-2 bers informan scr sistematis melwti suatu area, mengamati, menanyakan, mendengarkan, mendiskusikan, mengidentifikasi zona yg berbeda, teknologi/kerajinan lokal, mengenalkan teknologi; menemukan masalah, peluang & pemecahan; membuat peta sumberdaya & penemuan-2;
(8) Lintasan waktu: kronologi kejadian, daftar kejadian utama yg diingat;



(9) Analisis kecenderungan: pertimbangan masy pada wkt lalu ttg bagaimana hal-2 yg dekat dg mereka berubah, sejarah ekologis, relokasi, pola & perubahan kegiatan kerja; perubahan kebiasaan, perubahan & kecenderungan penduduk, migrasi, penggunaan BBM, pendidikan, kesehatan, praktik kredit, sebab-2 perubahan & kecenderungan;
(10) Ethnobiographies: sejarah lokal ttg kegiatan penting spt prbhn peruntukan lahan, menjalankan pekerjaan sbg pedagang, petani, buruh, pembuat kerajinan;
(11) Membuat diagram musiman: musim utama, musim wisata, peak season, musim panen, musim sepi;
(12) Analisis matapencaharian: stabilitas, krisis & penanggulangannya, pendapatan, pengeluaran, kredit & hutang, kegiatan ganda, dll;
(13) Membuat diagram scr partisipatif: metode utk identifikasi individu, kelompok & lembaga penting dlm & bagi komunitas, serta hubungan mereka;

(14) Tingkat kesejahteraan: identifikasi kelompok rumahtangga menurut kesejahteraan & kesehatan, tmsk yg paling miskin & paling buruk;
(15) Analisis perbedaan: melalui gender, kelompok sosial, kesejahteraan, kemiskinan, pekerjaan, usia; identifikasi perbedaan antar kelompok, masalah & pilihan mereka: perbandingan kontras antar keluarga, suatu keluarga ttg keluarga lain, & sebaliknya;
(16) Estimasi & kuantifikasi, bisa pakai ukuran lokal;
(17) Penyelidikan kunci: dg pertanyaan langsung ke masalah kunci, misalnya “Apa yg anda lakukan ketika tidak berdagang?” “Bagaimana cara Anda menawarkan dagangan Anda?” “Bagaimana kalau lokasi berdagang dipindah?” dsb.;
(18) Menyusun cerita, studi kasus dan profil;
(19) Menyusun tim: gabungan antara orang luar (peneliti, konsultan, pemberdaya, pendamping, dsb.) dan masy atau stakeholder;


(20) Analisis & penyajian: peta, model, diagram, penemuan yg disajikan oleh warga atau warga bersama orang luar, yg diuji, dikoreksi & didiskusikan;
(21) Perencanaan partisipatif, pembuatan anggaran & pemantauan: warga menyiapkan renc (jika mungkin smp pd anggaran, jadual & pemantauan perkembangannya);
(22) Kuesioner sederhana pd akhir proses, dirancang utk pengisian tabel utk laporan atau yg akan dibutuhkan kemudian;
(23) Laporan tertulis oleh fasilitator dan/atau bersama warga, segera setelah kegiatan RRA dan/atau PRA.
(diolah dari Chambers, 1996: 36-39)***













Daftar Pustaka

Chambers, Robert. 1996. PRA: Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius & Oxfam.
________. 1983/1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.
Driyamedia untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. 1996. Berbuat Bersama Berperan Setara. Acuan Penerapan Participatory Rural Appraisal. Bandung: Studio Driya Media.
Kistanto, Nurdien H. 1997a. “Menuju Paradigma Penelitian Sosial yang Partisipatif.” PRISMA No. 1, Januari, hal. 84-87.
________. 1997b. “Dari ‘Memahami’ ke ‘Memberdayakan.’” Suara Merdeka, Senin, 10 Maret/VII.
LPPSP. 2000. Proyek Pembentukan dan Pemantapan Kelompok PSBK (Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas), Laporan PRA. Semarang: Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan (LPPSP).
Mubyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: CV Rajawali.
Poerbo, Hasan, Fred Carden, William Found and Louise Grenier. Eds. 1995. Working with People. Indonesian Experiences with Community-Based Development. Toronto: Faculty of Environmental Studies, York University; Bandung: Centre for Environmental Studies, Institute Technology of Bandung.
Sanoff, Henry. 2000. Community Participation Methods in Design and Planning. New York: John Wiley & Sons.
Sarman, Mukhtar. 1997. “Kemiskinan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Pelajaran dari Program IDT.” PRISMA No. 1, hal. 33-42.
Schubeler, Peter. 1996. Participation and Partnership in Urban Infrastructure Management. Washington, DC: Urban Management Programme, The World Bank.
Yeung, Y. M. and T. G. McGee. Eds. 1986. Community Participation in Delivering Urban Services in Asia. Ottawa, Canada: International Development Research Centre.


Semarang, Selasa, 6 Mei 2003
Nurdien H. Kistanto

PROSPEK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARIMUNJAWA dengan Participatory Engineering

Pada abad ke 16, Jepara sudah dikenal sebagai wilayah pesisir yang mengesankan, sampai-sampai penulis Suma Oriental, Tome Pires, memujinya sebagai tempat labuh terbaik di antara tempat-tempat lain yang dikunjunginya, menjadi tempat mampir bagi mereka yang berkunjung ke Jawa dan Maluku. Pada abad ke 18 (1726) ahli sejarah Domine Francois Valentijn bahkan menuturkan bahwa Jepara menjadi pelabuhan bagi para pedagang kecil, sebagai bandar di pesisir pantai (Kompas 2003: 199-201). Belum lagi jika kita cermati kegiatan-kegiatan sosial, politik, pemerintahan, kebudayaan dan kesenian yang kesohor Ratu Kalinyamat dan RA Kartini.
Sejak berabad-abad pesisir Jepara menjadi ajang pergaulan, pertemuan dan perdagangan intra dan antar bangsa. Bahkan sampai sekarang aktivitas perdagangan berskala lokal, nasional dan internasional menjadi penyangga utama struktur perekonomian, yang membawa konsekuensi pertemuan antar nilai-nilai sosial budaya, klasik dan kontemporer, terutama melalui penyelenggaraan usaha-usaha produksi dan perdagangan (industri) kerajinan. Sekitar seperlima dari total nilai perekonomian berasal dari industri & bisnis, produksi & perdagangan (Kompas 2003: 199-201).
Secara historis pesisir Jepara dan sekitarnya mengalami pergaulan sosial budaya global berabad-abad.
Kiranya merupakan tuntutan wajar jika di Jepara terselenggara kegiatan jaringan pelabuhan berskala nasional dan internasional, dan tidak hanya pelabuhan untuk nelayan dan penyeberangan Jepara-Karimunjawa. Lebih-lebih jika Karimunjawa hendak dikembangkan dengan transport Kapal Cepat, yang membawa prospek-prospek sosial budaya, perekonomian dan pariwisata.
II
Secara sosiologis masyarakat Kepulauan Karimunjawa heterogin, terbentuk oleh kebutuhan akan pengembangan kehidupan dan hajat hidup sosial ekonomi. Di sana berkembang pergaulan, interaksi dan proses-proses sosial masyarakat Jawa, Bugis dan Madura, yang membawa nilai-nilai sosial-budaya kelompok masyarakatnya. Pada masa-masa yang akan datang, kelompok-kelompok masyarakat tersebut akan mengalami interaksi dan proses-proses sosial dengan bangsa-bangsa pendatang dalam kategori pengunjung dan investor.
Oleh sebab itu, prospek sosio-demografis dan sosio-budaya masyarakat adalah berkembangnya pluralisme nilai-nilai yang berbasis kelompok, etnik, ekonomi, sosial dan budaya. Dalam situasi demikian, prospek sosial budaya yang simpatik dan bijaksana, beradab dan berbudaya, menuntut terselenggaranya proses-proses yang berbasis kebersamaan dan partisipasi.
Dalam masyarakat heterogin, dengan nilai-nilai sosio-budaya plural, interaksi dan proses-proses sosial yang saling berkaitan diharapkan dapat mendorong berkembangnya antara lain:
(1) pengertian dan pemahaman akan pentingnya kebersamaan antar kelompok dan kelompok kepentingan (stakeholders);
(2) dukungan suatu sistem sosial dan infrastruktur yang menimbulkan rasa aman lahir dan batin;
(3) akomodasi kepentingan dan hajat hidup seluruh kelompok yang berbeda-beda, terutama misalnya kelompok-kelompok berbasis ekonomi dan mata-pencaharian (livelihood);
(4) rasa aman lahir dan batin yang memberikan ketenangan dan kenyamanan kelompok-kelompok kepentingan (stakeholders) untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi sosial-budaya dan ekonomi, terutama yang berbasis pekerjaan dan matapencaharian.
III
Interaksi dan proses-proses sosial yang berorientasi mewujudkan prospek sosial-budaya-ekonomi yang adil, beradab dan demokratis, menuntut institusi perubahan untuk memberikan tempat dan peluang kepada masyarakat plural untuk bersama-sama melakukan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan dalam proses-proses perubahan (pembangunan). Partisipasi dan community based change (perubahan berbasis masyarakat) merupakan kunci-kunci penting untuk membuka jendela dan pintu perubahan.
Dengan partisipasi dan community based change, yang merupakan metode (bahkan ideologi) untuk mewujudkan masyarakat pasca-moderen (postmodern society), kekuasaan dan kewenangan terhadap perubahan yang di masa lalu mengalami social engineering semata-mata oleh institusi perubahan, kini (kekuasaan dan kewenangan atas perubahan) harus dibagi-bagikan melalui participatory engineering – yang diselenggarakan bersama masyarakat plural.
Dengan participatory engineering, masyarakat plural akan merasa ikut memiliki dan ikut bertanggung-jawab dalam mengaktualisasikan dan merealisasikan prospek kemajuan sosial-budaya dan ekonomi, bagi kesejahteraan mereka*** (Semarang, 5 April 2004 - NHK).
Pengaruh interaksi thd perkemb masy
Individu: Seseorang yang frekuensi interaksinya kurang menyebabkan kesulitan pergaulan manusia tsb dlm masy.
Masyarakat: kurangnya interaksi suatu masy dg masy lain menyebabkan lambannya perkemb masy tsb.
Pembangunan sarana komunikasi dan transportasi di suatu daerah berdampak meningkatkan frekuensi interaksi masy tsb dg masy yg lain. Dg tambahan interaksi tsb perkemb masy dpt dipacu.
Daftar Pustaka

Chambers, Robert. 1996. PRA – Participatory Rural Appraisal – Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Yayasan Mitra Tani, Kanisius, Oxfam.

Ibrahim, Jabal Tarik. 2002. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM.

Juliantara, Dadang. 2003. Pembaruan Desa – Bertumpu pada Yang Terbawah. Yogyakarta: Leppera.

Kompas. 2003. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jilid 3. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Kompas. 2004. “Karimunjawa, Seribu Pesona Kepulauan Tropis.” Jawa Tengah. Jum’at, 2 April: G.

Yuliati, Yayuk dan Mangku Poernomo. 2003. Sosiologi Pedesaan. Yogyakarta: Leppera.